Jalan Teduh Menuju Rumah
Cerpen: Kurnia Effendi
Cerpen: Kurnia Effendi
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Sejak
kedua anakku masih belum lancar membaca, aku selalu mengantar tidur mereka
dengan sebuah dongeng. Mula-mula kuceritakan tentang muslihat Sang Kancil, yang
selalu cerdik dalam menghadapi berbagai bahaya. Karena perbendaharaan kata yang
terhimpun di kepala anak-anakku belum sebanyak mereka yang sudah sekolah, tentu
aku menggunakan bahasa yang sederhana.
"Dengan suara yang ditenang-tenangkan,
Kancil meminta agar Harimau memandang ke dalam perigi"
"Apa itu perigi?" tanya Najma.
"Oh ya, itu padanan kata dari sumur."
"Padanan itu apa?"
"Hmm, maksud Ayah adalah kata lainnya. Arti
perigi sama dengan sumur. Sudah pernah melihat sumur?"
Keduanya menggeleng. Tentu. Kami tinggal di
kompleks perumahan yang masing-masing sumurnya terpendam dalam semen beton, dan
yang muncul ke permukaan adalah pompa listrik. Ada getar dan bunyi dengung
setiap kali pompa penyedot air itu dinyalakan. Tahu-tahu mereka melihat air
mengucur di keran-keran kamar mandi, tempat cuci piring di dapur, atau wastafel
dekat meja makan.
"Sumur adalah tanah yang digali dengan
kedalaman sekitar enam sampai sepuluh meter, dan pada bagian dasarnya terdapat
mata air yang menggenangkan air untuk keperluan hidup sehari-hari. Ya, pokoknya
begitulah. Di rumah kita ini, yang mengambil air ke dalam tanah adalah pipa
tersembunyi."
"O, begitu. Lalu bagaimana selanjutnya
Harimau itu?" Afif, adik Najma tak sabar.
"Karena tidak sepintar Kancil, Harimau itu
menurut. Di tepi sumur ia mengintip ke lubang yang dalam. Tampaklah
bayang-bayang wajahnya di permukaan air. Seketika ia percaya, bahwa gambar
kepala harimau yang ada di dasar sumur adalah korban Sang Kancil. Ia pun
gemetar"
Najma dan Afif tertawa. Tatapan mata mereka antusias
mendengar keberhasilan Kancil. Tapi itu tak lama. Setelah dongeng berakhir,
mereka segera membaca doa: bismika allahumma ahya, wabismika amuut. Lalu
selimut ditarik menutup sampai sebatas dada, karena dingin AC dalam kamar mulai
terasa. Perlahan mata mereka terkatup. Dan seperti biasa, ibu jari dan telunjuk
Afif mengusap-usap daun telinga sampai terlelap. Sementara jemari tangan kanan
Najma menggulung-gulung rambutnya hingga tertidur.
Aku tersenyum sebelum keluar kamar dan bergabung
dengan isteri menonton televisi. Pak Quraish Shihab sedang menyampaikan tafsir
Qur'an. Aku suka dengan telaahnya yang mendalam, sering membuat mata hatiku
terbuka oleh makna ayat yang terungkap begitu jernih.
"Apa menu sahur kita nanti?" tanyaku.
"Maunya apa? Serba bening atau
bersantan?"
"Aku mau yang serba hangat," aku
tertawa.
"Seperti ini?" Isteriku menyusupkan
kepalanya ke dalam pelukanku.
* * *
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng.
Sudah pukul sembilan malam, Najma masih tekun di
depan komputer. Tubuhnya yang tak langsing itu mungkin merupakan kesalahanku.
Ada genetik bawaan yang membuat badannya subur, padahal ibunya selangsing
piala. Mudah-mudahan ia tetap percaya diri di antara teman-teman SMP-nya.
Ah, ya! Najma sudah SMP. Sementara Afif kelas
lima SD. Mengapa tahun-tahun melesat seperti ketika aku menyingkat kisah dalam
dongeng? Begitu lekas. Seperti bergegas. Seperti mengejar sesuatu. Entah itu
sebuah tujuan, berupa ruang atau waktu. Di mana atau kapan?
"Kamu belum ngantuk? Nanti sulit
dibangunkan saat sahur. Sedang bikin apa, sih?" Kudekati anak sulungku
itu.
"Ini lho, tugas pelajaran Agama. Disuruh
menceritakan salah satu contoh perilaku Nabi yang pantas menjadi teladan."
Jawabnya tanpa menoleh. Matanya tetap memandang huruf-huruf yang tertera di
layar monitor.
"Wah, itu banyak sekali."
"Justru itu, aku bingung, Pa. Mau ambil
yang mana?"
"Pernah dengar kisah Rasulullah dengan
lelaki Yahudi tua yang buta?"
Najma menoleh memandangku. Tampaknya ia
tertarik. "Belum. Nah, ini pasti tidak akan sama dengan teman-teman lain.
Bagaimana ceritanya?"
"Suatu hari, Siti Aisyah, isteri Nabi
bertanya kepada ayahnya yang juga menjadi sahabat Nabi. Itu terjadi setelah
Rasulullah meninggal." Kumulai kisahnya. "Apakah ayah sudah melakukan
semua yang Nabi lakukan? Demikian pertanyaan Aisyah."
"Apa jawab emm, Abu Bakar?" Rupanya
Najma ingat nama ayah Aisyah.
"Ia menjawab, semua yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad sudah ia tiru. Namun menurut Aisyah, ada satu hal yang belum
dilakukan oleh ayahnya. Di hari-hari menjelang akhir hayat Rasulullah, ketika
masih sehat, ia selalu menyuapi seorang tua buta di ujung jalan yang setiap
hari dilewatinya. Tentu Abu Bakar bertanya-tanya heran, dan mengatakan bahwa
orang tua buta itu adalah seorang Yahudi. Bukan hanya itu, namun juga selalu
mencerca Nabi Muhammad dan pengikutnya, bahkan sampai beliau meninggal."
"Kurang ajar betul orang Yahudi itu. Sudah
tua, buta, tidak tahu berterima kasih pula," komentar Najma.
"Ya, perasaan itu pula yang berkecamuk
dalam hati Abu Bakar. Akan tetapi, karena tidak terpengaruh oleh cercaan itu,
Abu Bakar berjanji kepada Aisyah, bahwa ia akan menggantikan tugas Rasulullah
untuk menyuapi kakek Yahudi itu. Maka keesokan harinya, pagi-pagi, Abu Bakar
mendatangi orang tua buta itu sambil membawa serantang bubur gandum. Ketika aroma
bubur itu tercium oleh Pak Yahudi, tampak senyum gembira karena akan segera
mendapatkan sarapan pagi. Mulailah Abu Bakar menyuapkan sendok pertamanya ke
mulut Pak Yahudi. Tapi apa yang terjadi ketika tiba pada suapan kedua?"
"Apa?" Najma menanti dengan penasaran.
"Orang tua buta itu marah. Ia menolak
tangan Abu Bakar dengan kasar, dan menghardik keras."
"Lho, kenapa begitu?" tanya Najma.
"Siapa kamu?! Begitu tanya Sang Yahudi.
Kamu pasti bukan orang yang biasa menyuapiku. Mana orang itu? Dia orang yang
sangat lembut, menyuapi dengan penuh kasih sayang. Dia tak akan menyuapkan
sendok berikutnya sebelum aku selesai mengunyah dan menelan."
"Subhanallah, begitu mulia Rasulullah. Lalu
bagaimana jawab Abu Bakar?"
Tak terasa mataku panas, menahan rebak air mata.
Entah mengapa, setiap berkisah tentang akhlak Nabi Muhammad, selalu ada yang
berdesir-desir dalam hati. Tak seorang pun sanggup meniru tabiatnya, bahkan
seorang sahabat paling dekat sekali pun.
"Abu Bakar menangis. Ia tersedu dan gemetar
hebat. Ia menahan amarah, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap Pak
Yahudi. Lalu dengan terbata-bata, ia sampaikan sebuah rahasia. Kata Abu Bakar
kepadanya: Tahukah Bapak, siapa orang yang selalu menyuapimu dengan sabar dan
penuh kasih sayang itu? Dialah Rasulullah Muhammad yang engkau benci, yang
setiap hari engkau maki. Tapi dia tak pernah sakit hati atau dendam kepadamu,
justru memperlakukanmu melebihi cinta kerabatmu."
"Sungguh mulia akhlak Rasulullah ya,
Pa," ujar Najma kagum. "Lalu bagaimana reaksi Pak Yahudi?"
"Ia tertegun. Apalagi ketika disampaikan
bahwa Rasulullah baru saja meninggal kemarin. Berarti kebencian Pak Yahudi itu
berlangsung sampai akhir hayat Rasulullah, tak sempat ia minta maaf. Namun
Allah pada saat itu langsung menurunkan hidayah. Orang tua buta itu menangis
sedih dan menyesal sedalam-dalamnya. Saat itu pula ia mengucapkan dua kalimat
syahadat. Bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah. Juga bersaksi bahwa
Muhammad sebagai utusan Allah."
Najma memandangku dengan mata berkaca-kaca.
Kuacak-acak rambutnya dengan kasih sayang. "Ayo segera ditulis kisah itu.
Betapa Rasulullah tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan
beliau tidak perlu menunjukkan pamrih dengan menyebut nama saat berbuat baik,
karena yakin Allah yang akan menilai perbuatan kita."
"Oke! Terima kasih, Papa." Najma
membalikkan badan menghadap kembali ke layar komputer. "Seandainya kita
bisa mencontoh sedikit saja teladan Nabi" gumamnya.
"Maka jadilah anak yang salihah. Hormat dan
berbakti kepada orang tua, setia kepada suami kelak jika sudah berumah-tangga,
dan menjaga diri dari perbuatan riya."
* * *
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Itulah
yang disampaikan oleh anak-anakku, Najma dan Afif, kepada anak-anaknya.
Cucu-cucuku itu selalu memandang berlama-lama ke wajahku yang berhias alis,
kumis dan janggut putih, setiap kali mereka bertandang ke rumah. Rumah seorang
pendongeng, tentu.
"Sebenarnya, kakek itu seorang pendongeng
atau penyihir?" bisik Ica, panggilan sayang Faricha, kepada sepupunya,
Naufal. Aku hampir saja tergelak. Ah, dasar anak-anak!
"Ayo, mendekat kemari! Pada puasa,
nggak?" Aku menyambut kedatangan mereka dengan rasa bungah luar biasa.
"Apa kabar, Kek?" Ica, anak Najma
mencium tanganku. "Aku bawa oleh-oleh buat Kakek. Baju koko."
"Wah, pintarnya cucu cantik ini." Aku
mencium kedua pipinya yang montok. "Kalau Naufal bawa apa?"
"Opang bawa ini," ia mengulurkan
sebuah VCD murotal Qur'an. "Tapi ini dari Papa."
Kemudian tampak melangkah dari ujung jalan,
Najma dengan suaminya, dan Afif bersama isterinya. Sejak sebelum Ramadhan,
mereka merencanakan Lebaran di rumah kami. Tidak ada keberatan bagi kedua cucu
kami karena ini bukan kunjungan yang pertama kali. Apa yang membuat mereka
gembira di dusun lereng bukit ini, aku tak tahu persis. Apakah karena aku
seorang pendongeng?
Isteriku, nenek mereka, segera membuatkan
kentang goreng dan sosis. Aha! Boleh jadi lantaran selama mereka di sini tidak
kehilangan citarasa kota, dengan muslihat isteriku membuat menu-menu yang
mereka sukai.
"Mau mandi dulu, atau makan dulu?"
Isteriku menawarkan.
"Perjalanan jauh kan boleh berbuka. Musafir
namanya."
"Aku nggak mau mandi, Nek. Di sini airnya
dingin. Besok pagi aja, setelah jalan-jalan." Usul Ica.
"Ya, sudah. Panggil ayah kalian, nenek
sudah siapkan sirop kelapa muda."
Naufal berlari ke arah kami yang sedang
bercakap-cakap di halaman. Tatapan kami lurus ke arah jalan kecamatan dua ratus
meter dari teras rumah. Dari sana sengaja kubuat jalan batu. Di kanan dan kiri,
masing-masing berbatasan dengan kebun milik tetangga, kutanam pohon-pohon
cengkeh, berjajar sama tinggi. Pada usia delapan tahun mereka tumbuh dengan
daun merimbun dan mulai mempertontonkan buahnya yang lebat.
"Papa, dipanggil Nenek. Disuruh buka
puasa," kata Opang.
"Oh ya, sebentar lagi ya. Papa mau melihat
matahari tenggelam."
Naufal kembali berlari ke arah rumah dengan
ceria. Aku memandangnya seraya bersyukur. Kadang-kadang muncul sebersit rasa
cemas: jangan-jangan, di tengah kebahagiaan serupa ini tersembunyi duka yang
akan menyergap tiba-tiba. Kuusap mataku, mengusir kekhawatiran yang mengganggu.
Tiga hari lagi Lebaran, tak baik membayangkan prasangka buruk terhadap Tuhan.
"Inilah yang sering mereka ceritakan kepada
teman-temannya" kata Najma.
"Tentang seorang pendongeng?" Aku
hampir tertawa.
"Bukan. Tentang jalan teduh menuju
rumah." Najma melingkarkan tangannya ke bahuku. "Mereka suka tempat
ini karena selalu melewati jalan yang rindang oleh pohon cengkeh. Jalan panjang
yang tidak mereka lihat di mana pun, kecuali dalam film."
* * *
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Yang
ingin menyambut takbir Idul Fitri dalam ketenteraman hari tua. Yang
membayangkan Lebaran indah di sebuah dusun lereng bukit. Dan meniru sedikit
saja dari perilaku Rasulullah, yang aku sanggup.
Kusiapkan jalan teduh menuju rumah, agar
cucu-cucuku dapat kulihat dari beranda sejak mereka memasuki halaman yang
memanjang. Dan di pagi cerah sesudah shalat hari raya, kedua anak dan menantuku
bergantian mencium tangan, sungkem dan memeluk hangat. "Selamat Idul
Fitri. Maafkan lahir dan batin, doakan kami selalu."
"Buka juga lebar-lebar hatimu, agar semua
kesalahanku sebagai orang tua seketika lebur. Doa kami selalu untuk kebahagiaan
dan kerukunan kalian."
Atau sebaliknya: mereka akan memandangku
berjalan menjangkau hari tua, melewati jalan yang teduh menuju rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar