Minggu, 17 Juni 2012

Cerpen


Jalan Teduh Menuju Rumah
Cerpen: Kurnia Effendi

TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Sejak kedua anakku masih belum lancar membaca, aku selalu mengantar tidur mereka dengan sebuah dongeng. Mula-mula kuceritakan tentang muslihat Sang Kancil, yang selalu cerdik dalam menghadapi berbagai bahaya. Karena perbendaharaan kata yang terhimpun di kepala anak-anakku belum sebanyak mereka yang sudah sekolah, tentu aku menggunakan bahasa yang sederhana.
"Dengan suara yang ditenang-tenangkan, Kancil meminta agar Harimau memandang ke dalam perigi"
"Apa itu perigi?" tanya Najma.
"Oh ya, itu padanan kata dari sumur."
"Padanan itu apa?"
"Hmm, maksud Ayah adalah kata lainnya. Arti perigi sama dengan sumur. Sudah pernah melihat sumur?"
Keduanya menggeleng. Tentu. Kami tinggal di kompleks perumahan yang masing-masing sumurnya terpendam dalam semen beton, dan yang muncul ke permukaan adalah pompa listrik. Ada getar dan bunyi dengung setiap kali pompa penyedot air itu dinyalakan. Tahu-tahu mereka melihat air mengucur di keran-keran kamar mandi, tempat cuci piring di dapur, atau wastafel dekat meja makan.
"Sumur adalah tanah yang digali dengan kedalaman sekitar enam sampai sepuluh meter, dan pada bagian dasarnya terdapat mata air yang menggenangkan air untuk keperluan hidup sehari-hari. Ya, pokoknya begitulah. Di rumah kita ini, yang mengambil air ke dalam tanah adalah pipa tersembunyi."
"O, begitu. Lalu bagaimana selanjutnya Harimau itu?" Afif, adik Najma tak sabar.
"Karena tidak sepintar Kancil, Harimau itu menurut. Di tepi sumur ia mengintip ke lubang yang dalam. Tampaklah bayang-bayang wajahnya di permukaan air. Seketika ia percaya, bahwa gambar kepala harimau yang ada di dasar sumur adalah korban Sang Kancil. Ia pun gemetar"
Najma dan Afif tertawa. Tatapan mata mereka antusias mendengar keberhasilan Kancil. Tapi itu tak lama. Setelah dongeng berakhir, mereka segera membaca doa: bismika allahumma ahya, wabismika amuut. Lalu selimut ditarik menutup sampai sebatas dada, karena dingin AC dalam kamar mulai terasa. Perlahan mata mereka terkatup. Dan seperti biasa, ibu jari dan telunjuk Afif mengusap-usap daun telinga sampai terlelap. Sementara jemari tangan kanan Najma menggulung-gulung rambutnya hingga tertidur.
Aku tersenyum sebelum keluar kamar dan bergabung dengan isteri menonton televisi. Pak Quraish Shihab sedang menyampaikan tafsir Qur'an. Aku suka dengan telaahnya yang mendalam, sering membuat mata hatiku terbuka oleh makna ayat yang terungkap begitu jernih.
"Apa menu sahur kita nanti?" tanyaku.
"Maunya apa? Serba bening atau bersantan?"
"Aku mau yang serba hangat," aku tertawa.
"Seperti ini?" Isteriku menyusupkan kepalanya ke dalam pelukanku.
* * *
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng.
Sudah pukul sembilan malam, Najma masih tekun di depan komputer. Tubuhnya yang tak langsing itu mungkin merupakan kesalahanku. Ada genetik bawaan yang membuat badannya subur, padahal ibunya selangsing piala. Mudah-mudahan ia tetap percaya diri di antara teman-teman SMP-nya.
Ah, ya! Najma sudah SMP. Sementara Afif kelas lima SD. Mengapa tahun-tahun melesat seperti ketika aku menyingkat kisah dalam dongeng? Begitu lekas. Seperti bergegas. Seperti mengejar sesuatu. Entah itu sebuah tujuan, berupa ruang atau waktu. Di mana atau kapan?
"Kamu belum ngantuk? Nanti sulit dibangunkan saat sahur. Sedang bikin apa, sih?" Kudekati anak sulungku itu.
"Ini lho, tugas pelajaran Agama. Disuruh menceritakan salah satu contoh perilaku Nabi yang pantas menjadi teladan." Jawabnya tanpa menoleh. Matanya tetap memandang huruf-huruf yang tertera di layar monitor.
"Wah, itu banyak sekali."
"Justru itu, aku bingung, Pa. Mau ambil yang mana?"
"Pernah dengar kisah Rasulullah dengan lelaki Yahudi tua yang buta?"
Najma menoleh memandangku. Tampaknya ia tertarik. "Belum. Nah, ini pasti tidak akan sama dengan teman-teman lain. Bagaimana ceritanya?"
"Suatu hari, Siti Aisyah, isteri Nabi bertanya kepada ayahnya yang juga menjadi sahabat Nabi. Itu terjadi setelah Rasulullah meninggal." Kumulai kisahnya. "Apakah ayah sudah melakukan semua yang Nabi lakukan? Demikian pertanyaan Aisyah."
"Apa jawab emm, Abu Bakar?" Rupanya Najma ingat nama ayah Aisyah.
"Ia menjawab, semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sudah ia tiru. Namun menurut Aisyah, ada satu hal yang belum dilakukan oleh ayahnya. Di hari-hari menjelang akhir hayat Rasulullah, ketika masih sehat, ia selalu menyuapi seorang tua buta di ujung jalan yang setiap hari dilewatinya. Tentu Abu Bakar bertanya-tanya heran, dan mengatakan bahwa orang tua buta itu adalah seorang Yahudi. Bukan hanya itu, namun juga selalu mencerca Nabi Muhammad dan pengikutnya, bahkan sampai beliau meninggal."
"Kurang ajar betul orang Yahudi itu. Sudah tua, buta, tidak tahu berterima kasih pula," komentar Najma.
"Ya, perasaan itu pula yang berkecamuk dalam hati Abu Bakar. Akan tetapi, karena tidak terpengaruh oleh cercaan itu, Abu Bakar berjanji kepada Aisyah, bahwa ia akan menggantikan tugas Rasulullah untuk menyuapi kakek Yahudi itu. Maka keesokan harinya, pagi-pagi, Abu Bakar mendatangi orang tua buta itu sambil membawa serantang bubur gandum. Ketika aroma bubur itu tercium oleh Pak Yahudi, tampak senyum gembira karena akan segera mendapatkan sarapan pagi. Mulailah Abu Bakar menyuapkan sendok pertamanya ke mulut Pak Yahudi. Tapi apa yang terjadi ketika tiba pada suapan kedua?"
"Apa?" Najma menanti dengan penasaran.
"Orang tua buta itu marah. Ia menolak tangan Abu Bakar dengan kasar, dan menghardik keras."
"Lho, kenapa begitu?" tanya Najma.
"Siapa kamu?! Begitu tanya Sang Yahudi. Kamu pasti bukan orang yang biasa menyuapiku. Mana orang itu? Dia orang yang sangat lembut, menyuapi dengan penuh kasih sayang. Dia tak akan menyuapkan sendok berikutnya sebelum aku selesai mengunyah dan menelan."
"Subhanallah, begitu mulia Rasulullah. Lalu bagaimana jawab Abu Bakar?"
Tak terasa mataku panas, menahan rebak air mata. Entah mengapa, setiap berkisah tentang akhlak Nabi Muhammad, selalu ada yang berdesir-desir dalam hati. Tak seorang pun sanggup meniru tabiatnya, bahkan seorang sahabat paling dekat sekali pun.
"Abu Bakar menangis. Ia tersedu dan gemetar hebat. Ia menahan amarah, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap Pak Yahudi. Lalu dengan terbata-bata, ia sampaikan sebuah rahasia. Kata Abu Bakar kepadanya: Tahukah Bapak, siapa orang yang selalu menyuapimu dengan sabar dan penuh kasih sayang itu? Dialah Rasulullah Muhammad yang engkau benci, yang setiap hari engkau maki. Tapi dia tak pernah sakit hati atau dendam kepadamu, justru memperlakukanmu melebihi cinta kerabatmu."
"Sungguh mulia akhlak Rasulullah ya, Pa," ujar Najma kagum. "Lalu bagaimana reaksi Pak Yahudi?"
"Ia tertegun. Apalagi ketika disampaikan bahwa Rasulullah baru saja meninggal kemarin. Berarti kebencian Pak Yahudi itu berlangsung sampai akhir hayat Rasulullah, tak sempat ia minta maaf. Namun Allah pada saat itu langsung menurunkan hidayah. Orang tua buta itu menangis sedih dan menyesal sedalam-dalamnya. Saat itu pula ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah. Juga bersaksi bahwa Muhammad sebagai utusan Allah."
Najma memandangku dengan mata berkaca-kaca. Kuacak-acak rambutnya dengan kasih sayang. "Ayo segera ditulis kisah itu. Betapa Rasulullah tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan beliau tidak perlu menunjukkan pamrih dengan menyebut nama saat berbuat baik, karena yakin Allah yang akan menilai perbuatan kita."
"Oke! Terima kasih, Papa." Najma membalikkan badan menghadap kembali ke layar komputer. "Seandainya kita bisa mencontoh sedikit saja teladan Nabi" gumamnya.
"Maka jadilah anak yang salihah. Hormat dan berbakti kepada orang tua, setia kepada suami kelak jika sudah berumah-tangga, dan menjaga diri dari perbuatan riya."
* * *
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Itulah yang disampaikan oleh anak-anakku, Najma dan Afif, kepada anak-anaknya. Cucu-cucuku itu selalu memandang berlama-lama ke wajahku yang berhias alis, kumis dan janggut putih, setiap kali mereka bertandang ke rumah. Rumah seorang pendongeng, tentu.
"Sebenarnya, kakek itu seorang pendongeng atau penyihir?" bisik Ica, panggilan sayang Faricha, kepada sepupunya, Naufal. Aku hampir saja tergelak. Ah, dasar anak-anak!
"Ayo, mendekat kemari! Pada puasa, nggak?" Aku menyambut kedatangan mereka dengan rasa bungah luar biasa.
"Apa kabar, Kek?" Ica, anak Najma mencium tanganku. "Aku bawa oleh-oleh buat Kakek. Baju koko."
"Wah, pintarnya cucu cantik ini." Aku mencium kedua pipinya yang montok. "Kalau Naufal bawa apa?"
"Opang bawa ini," ia mengulurkan sebuah VCD murotal Qur'an. "Tapi ini dari Papa."
Kemudian tampak melangkah dari ujung jalan, Najma dengan suaminya, dan Afif bersama isterinya. Sejak sebelum Ramadhan, mereka merencanakan Lebaran di rumah kami. Tidak ada keberatan bagi kedua cucu kami karena ini bukan kunjungan yang pertama kali. Apa yang membuat mereka gembira di dusun lereng bukit ini, aku tak tahu persis. Apakah karena aku seorang pendongeng?
Isteriku, nenek mereka, segera membuatkan kentang goreng dan sosis. Aha! Boleh jadi lantaran selama mereka di sini tidak kehilangan citarasa kota, dengan muslihat isteriku membuat menu-menu yang mereka sukai.
"Mau mandi dulu, atau makan dulu?" Isteriku menawarkan.
"Perjalanan jauh kan boleh berbuka. Musafir namanya."
"Aku nggak mau mandi, Nek. Di sini airnya dingin. Besok pagi aja, setelah jalan-jalan." Usul Ica.
"Ya, sudah. Panggil ayah kalian, nenek sudah siapkan sirop kelapa muda."
Naufal berlari ke arah kami yang sedang bercakap-cakap di halaman. Tatapan kami lurus ke arah jalan kecamatan dua ratus meter dari teras rumah. Dari sana sengaja kubuat jalan batu. Di kanan dan kiri, masing-masing berbatasan dengan kebun milik tetangga, kutanam pohon-pohon cengkeh, berjajar sama tinggi. Pada usia delapan tahun mereka tumbuh dengan daun merimbun dan mulai mempertontonkan buahnya yang lebat.
"Papa, dipanggil Nenek. Disuruh buka puasa," kata Opang.
"Oh ya, sebentar lagi ya. Papa mau melihat matahari tenggelam."
Naufal kembali berlari ke arah rumah dengan ceria. Aku memandangnya seraya bersyukur. Kadang-kadang muncul sebersit rasa cemas: jangan-jangan, di tengah kebahagiaan serupa ini tersembunyi duka yang akan menyergap tiba-tiba. Kuusap mataku, mengusir kekhawatiran yang mengganggu. Tiga hari lagi Lebaran, tak baik membayangkan prasangka buruk terhadap Tuhan.
"Inilah yang sering mereka ceritakan kepada teman-temannya" kata Najma.
"Tentang seorang pendongeng?" Aku hampir tertawa.
"Bukan. Tentang jalan teduh menuju rumah." Najma melingkarkan tangannya ke bahuku. "Mereka suka tempat ini karena selalu melewati jalan yang rindang oleh pohon cengkeh. Jalan panjang yang tidak mereka lihat di mana pun, kecuali dalam film."
* * *
TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Yang ingin menyambut takbir Idul Fitri dalam ketenteraman hari tua. Yang membayangkan Lebaran indah di sebuah dusun lereng bukit. Dan meniru sedikit saja dari perilaku Rasulullah, yang aku sanggup.
Kusiapkan jalan teduh menuju rumah, agar cucu-cucuku dapat kulihat dari beranda sejak mereka memasuki halaman yang memanjang. Dan di pagi cerah sesudah shalat hari raya, kedua anak dan menantuku bergantian mencium tangan, sungkem dan memeluk hangat. "Selamat Idul Fitri. Maafkan lahir dan batin, doakan kami selalu."
"Buka juga lebar-lebar hatimu, agar semua kesalahanku sebagai orang tua seketika lebur. Doa kami selalu untuk kebahagiaan dan kerukunan kalian."
Atau sebaliknya: mereka akan memandangku berjalan menjangkau hari tua, melewati jalan yang teduh menuju rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar