Sabtu, 15 September 2012

Pengertian Psikologi

Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental

Sejarah Psikologi

Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an.) Tetapi, manusia di sepanjang sejarah telah memperhatikan masalah psikologi. Seperti filsuf yunani terutama Plato dan Aristoteles. Setelah itu St. Augustine (354-430) dianggap tokoh besar dalam psikologi modern karena perhatiannya pada intropeksi dan keingintahuannya tentang fenomena psikologi. Descartes (1596-1650) mengajukan teori bahwa hewan adalah mesin yang dapat dipelajari sebagaimana mesin lainnya.

Ia juga memperkenalkan konsep kerja refleks. Banyak ahli filsafat terkenal lain dalam abad tujuh belas dan delapan belas—Leibnits, Hobbes, Locke, Kant, dan Hume—memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan.


Psikologis Sastra

A.Sastra Dan Studi Sastra

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan. Studi sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-
ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum sekaligus. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yan berkembang terus-menerus.

1.Sifat -Sifat Sastra
Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuwan lain, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Istilah sastra tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Bahasa adalah bahan baku dari sastra sebagai medianya dan bahasa itu sendiri bukan benda mati seperti batu, melainkan ciptaan manusia dan mempunyai muatan budaya dan linguistic dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis. Sedangkan bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonym dengan kata lain adalah bahasa sastra sangat konotatif.

2.Fungsi Sastra
Edgar Allan Poe melontarkan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Menurut sejumlah teoritikus, fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekana emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.

3.Teori, Kritik, dan Sejarah Sastra
Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Yang pertama-tama perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara teori, kritik, dan sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan criteria yang ada pada satra itu sendiri. Kritik sastra adalah studi karya-karya konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra masa kini dan masa lampau.

4.Sastra Umum, Sastra Bandingan, dan Sastra Nasional
Istilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama dipakai untuk studi sastra lisan, kedua mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih, dan yang ketiga sastra bandingan disamakan dengan studi sastra menyeluruh. Sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sastra nasional menuntut penguasaan bahasa asing dan keberanian untuk menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan.

B.STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN EKSTRINSIK
1.Sastra dan Biografi
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri yakni Sang Pengarang. Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya.Dan dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Permasalahan penulis biografi adalah permasalahan sejarah. Penulis biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, dan pernyataan otbiografis.

2.Sastra dan Psikologi
Psikologi adalah suatu seni yang biasanya menyajikan situasi yang terkadang tidak masuk akal dan suatu kejadian-kejadian yang fantastik. Psikologi dapat mengklasifikasikan pengarang berdasarkan tipe psikologi dan fisiologinya. Mereka bisa menguraikan kelainan jiwanya, bahkan meneliti alam sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen diluar sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Banyak karya besar yang menyimpang dari standar psikologi, karena kesesuaian hasil karya dengan kebenaran psikologis belum tentu bernilai artistik. Pemikiran psikologi dalam karya sastra tidak hanya dicapai melalui pengetahuan psikologi saja. Namun pada kenyataannya atau pada kasus-kasus tertentu pemikiran psikologi dapat menambah nilai estetik atau keindahan karena dapat menunjang koherensi dan kompleksitas suatu karya.
Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan. (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau studi pribadi. (2) Studi proses kreatif. (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Mempelajari dampak sastra pada pembaca. Kemungkinan (1) & (2) bagian dari psikologi seni. Kemungkinan (3) berkaitan pada bidang sastra. Kemungkinan (4) pada bab sastra dan masyarakat. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang, yang mana pada bagian akhir ini menurut mereka merupakan tahapan yang paling kreatif.
3.Sastra dan Masyarakat
Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan social, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang mempunyai status khusus, maka dari itu dia mendapat pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai masa-walaupun hanya secara teoretis. Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa” sastra adalah ungkapan masyarakat “ (Literature is an expression of society). Masalah kritik yang berbau penilaian bisa kita temukan dengan menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat. Hubungan yang bersifat deskriptif : (1) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (2) Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri (3) Permasalahan pembaca dan dampak social karya sastra.
4.Sastra dan Pemikiran
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiuran-pemikiran hebat. Karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.
C.STUDI SASTRA DENGAN PENDEKATAN INTRINSIK
1.Gaya dan Stilistika
Karya sastra hanyalah seleksi dari beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu. F.W.Bateson mengemukakan bahwa sastra adalah bagian dari sejarah umum bahasa dan sangat tergantung padanya. Dalam tesisnya dia berkata : pengaruh zaman pada sebuah puisi tidak dapat dilihat dari penyairnya, tapi dari bahasa yang dipakainya. Stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistic yang kua, karena salah satu perhatian utamanya adalah kontras system bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis.

Rabu, 12 September 2012

PRAGMATIK


 

pragmatics (n) – pragmatik – pragmatika

pragmatis (adj) : melihat sesuatu dari kegunaan

pragmatisme: aliran yang melihat sesuatu dari kegunaan




Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah TT yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti ngongkon ‘menyuruh’, nyilih‘meminjam’, njaluk ‘meminta’, ngelem ‘memuji’, janji ‘berjanji’, menging ‘melarang’, dan ngapura ‘memaafkan’. Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara; serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983).

Pragmatik dan Fungsi Bahasa
Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan kapur di kantor, dia dapat memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:
(1)  Jupukna kapur!
(2)  Kene ora ana kapur.
(3)  Ibu ngersakake kapur.
(4)  O, jebul ora ana kapur.
(5)  Ing kene ora ana kapur, ya?
(6)  Ngapa ora padha gelem njupuk kapur?

Dengan demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat deklaratif seperti tuturan (2-4), atau kalimat interogatif seperti tuturan (5-6). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).

PRAGMATIK VS SEMANTIK
Sebelum dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
(a)  Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
(b)  Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”
(c)  Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan Wijana, 1996: 3).

Definisi pragmatik:

  1. cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa. Satuan-satuan lingual dalam penggunaannya.
  2. studi kebahasaan yang terikat konteks.
  3. studies meaning in relation to speech situation (Leech, 1983).
  4. cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).

Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting.
(1)  Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut.
(2)  Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna.
(3)  Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik.
(4)  Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
(5)  Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.
(6)  Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).

Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang berasal dari berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut ini.
  1. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris, 1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian dari performansi.
  2. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa.
  3. Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna – kondisi-kondisi kebenaran.
  4. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
  5. Pragmatik adalah telaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur (presupposition), tindak ujar, dan aspek struktur wacana.

Parker (1986: 11), pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate.

Pragmatik sebenarnya merupakan bagian dari ilmu tanda atau semiotics atau semiotika.Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernamaCharles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain (mempelajari hubungan satuan lingual dengan satuan lingual lain: tanda dengan tanda);  semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya) (atau hubungan antara penanda dan petanda (signifiant dan signifie/yang ditandai)); dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Contoh:
Kok, sudah pulang!
Isteri: ’betul-betul terkejut’ atau ’orang itu lama sekali perginya’
Suami menafsirkan: siapa yang berbicara, kepada siapasituasinya bagaimana?

L. Witgenstein (filsuf): makna adalah penggunaannya. Makna sebuah tuturan itu penggunaannya.

Cabang-cabang bahasa:
Fonologi: bunyi sebagai sistem   internal atau formal
diadik: bentuk dan makna
Morfologi: satuan gramatikal terkecil.
Sintaksis: frase, klausa, kalimat, wacana.
Semantik: makna (biasanya leksikal).
Pragmatik: cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna satuan kebahasaan yang bersifat eksternal / bagaimana satuan kebahasaan itu dikomunikasikan   eksternal atau fungsional
triadik: bentuk, makna, dan maksud.

Semantik: makna linguistik (makna), bersifat internal.
Pragmatik: makna penutur (maksud), makna dalam penutur.

Contoh:
Sugeng enjing!
makna: menyapa
maksud: tergantung siapa yang berbicaraatau maksud lain, misalnya menyindir atau memarahi.

Baik!
makna: baik, apik
maksud: bisa tidak baik, dilihat dari berbagai faktor , ada hal-hal yang tidak langsung’indirectness atau secara tidak literal’.

Makna itu berubah-ubah tergantung pada konteksnya. Jadi, sebenarnya semantik sudah ada pragmatik.
Pragmatik: bagaimana orang menafsirkan. Mempelajari bagaimana satuan lingual itu ditafsirkan.


Asal-usul dan perilaku historis istilah pragmatik

Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernama Charles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain, semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya), dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Morris memberikan contoh interjeksi seperti Oh!, Come here!, Good morning!dipengaruhi oleh hukum pragmatik, yaitu bahwa variasi retoris dan alat puitis hanya muncul di bawah kondisi tertentu dalam batas-batas pemakaian bahasa.
Akhirnya pengarang menyimpulkan bahwa perbedaan pemakaian istilah pragmatik ditimbulkan dari bagian asal-usul semantik karya Morris, yaitu suatu telaah dari sebagian besar jajaran fenomena psikologis dan sosiologis yang mencakup sistem tanda pada umumnya atau dalam bahasa tertentu (the Continental sense of the term); atau telaah konsep abstrak tertentu yang membuat acuan pada pelaku (agents) (satu gagasan dariCarnap); atau studi istilah indeksikal atau deiktis (deictis) (gagasan Montague); atau akhirnya pemakaian dalam linguistik Anglo-American dan filsafat.
Buku ini secara eksklusif menyangkut istilah pada gagasan yang terakhir dan menerapkannya pada pembicaraan ini.

Contoh semantika:
kursi                                                               ’tempat duduk’

signifiant (penanda)                                                signifie (petanda)

Terdapat suatu prinsip:
Noam Chomsky:
Terdapat hubungan satu lawan satu antara penanda dan petanda (signifiant  dan signifie).

Pragmatik:
Satu tanda bisa menyatakan bermacam-macam maksud atau bermacam-macam tanda satu maksud.
Contoh: ’menolak’ bisa dinyatakan dengan
Ora duwe dhuwit.
Omahku sepi kok.

  • Tuturan semakin panjang tuturan semakin sopan, semakin pendek tidak sopan.
o        Contoh: Lunga! (tidak sopan) dan Lungaa! (lebih sopan)
  • Semakin langsung semakin tidak sopan, semakin tidak langsung semakin sopan. (Contoh: Nyilih sepedha motore (tidak sopan) dan Menawa pareng, aku nyilih sepedha motore (lebih sopan)).

Obyek data pragmatik itu konkrit, jelas, karena:
-          jelas kapan bahasa itu digunakan
-          siapa yang berbicara
-          kepada siapa.
J.W.M. Verhaar (Pengantar Lingguistik Umum):
- Makna          : ada pada satuan lingual (internal)
- Maksud        : ada pada penutur (eksternal)
- Informasi     : isi tuturan (internal)

Dia membeli buku Buku dibelinya makna: ‘aktif’ dan ‘pasif’

Makna yang abstrak, yang tidak jelas siapa penuturnya tidak jelas.
Makna kongkrit: makna tuturan.

Berkenaan dengan data:
Data kalimat : sentence.
Data pragmatik: utterance (kalimat + konteks). Obyek data primer adalah bahasa lisan. Bahasa tulis juga bisa asalkan mampu merekonstruksi tuturan yang sebenarnya.

Sosiolinguistik: berkaitan dengan variasi bahasa.
  1. Dia pergi ke Surabaya. Ayahnya sakit. —-> terkait dengan wacana.
  2. + Piye bijimu
- Entuk 4                    wacana pragmatik
+ Apik!

Menurut Halliday (pakar Functional Grammar):
1.      Field (medan): siapa berbicara kepada siapa.
2.      Tenor (pelibat): misalnya, ayah dengan anak.
3.      Mode (bentuk bahasa): strategi memilih yang mana)

Pragmatik: retorika, bagaimana strateginya.

Widowson:
1.            Kalimat (sentence)     - minus konteks.
2.            Tuturan (utterance)   - plus konteks.
3.            Teks (texs)                   - di atas kalimat minus konteks.
4.            Wacana (discourse)   - di atas kalimat plus konteks.

Wacana: mengandung amanat yang lengkap.
Contoh:
Sugeng rawuh.
Lunga!                                    Wacana.

Jadi, wacana tidak selalu di atas kalimat.

Arep?                                                                         teks tidak jelas konteksnya, Kopi bisa marahi saya melek terus.                         menolak atau menerima.

Neng ngendi sabune?                     - kalimat tanya.

TUTURAN PERFORMATIF DAN TUTURAN KONSTATIF

Pustaka:

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. (ed. J.O. Urmson). New York: Oxford University Press.
Harimurti Kridalaksana. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Leech, Geoffrey. (Terjemahan M.D.D. Oka). 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Richards, Jack dkk. 1989. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Longman: Longman Group UK Limited.
Searle, John. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.


Tuturan (utterance, oleh Kridalaksana disebut dengan istilah ujaran): (1) regangan wicara bermakna di antara dua kesenyapan aktual atau potensial, (2) kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan (Kridalaksana, 1984: 2001).
Intinya: bahasa pada umumnya sebagai alat komunikasi, tetapi sebenarnya ada tindakan tertentu yang baru dapat terlaksana kalau orang itu mengemukakan tuturan/bahasa.Dengan demikian bahasa bukan semata-mata alat untuk menyatakan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu.
Filosof J.L. Austin membedakan antara tuturan performatif (performativei) dan konstatif (constative).

Definisi:
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga; misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan “mengucapkan” (Kridalaksana, 1984: 2001). Performative (in speech act theory): an utterance which performs an act, such as Watch out (=a warning), I promise not to be late(= a promise). ((Richards dkk., 1989: 212). Secara ringkas dikatakan pula bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk melakukan sesuatu (perform the action).
Tuturan performatif  tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana) dan performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 280).

Contoh lain:
1.     Saya berterima kasih atas kebaikan Saudara. (Tindakan berterima kasih: the act of thanking)
2.     Saya mohon maaf atas keterlambatan saya. (Tindakan mohon maaf: the act of apologizing).
3.     Saya namakan anak saya Parikesit. (Tindakan memberi nama: the act of naming).
4.     Saya bertaruh Mike Tyson pasti menang. (Tindakan bertaruh: the act of betting).
5.     Saya nyatakan Anda berua suami-isteri. (Tindakan menyatakan/menikahkan: the act of marrying).
6.     Saya serahkan semua harta saya kepada anak saya. (Tindakan menyerahkan: the act of bequeting).
7.     Saya akan pergi sekarang. (Tindakan pergi: the act of going).

Ciri-ciri tindakan performatif
§         Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
§         Tindakan sedang/akan dilakukan
Kalau dalam bahasa Inggris, subjek orang pertama dan kala-nya present tense.
Austin dalam menentukan ciri-ciri tuturan performatif ini hanya melihat aspek gramatikalnya saja. Akhirnya direvisi (dilengkapi) oleh murid-muridnya, yaitu dengan adanya syarat-syarat lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity condition). Syarat-syarat itu antara lain:
1.       Orang yang menyatakan tuturan dan tempatnya harus sesuai atau cocok. Misalnya: Saya nyatakan Anda berdua suami-isteri. Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama,  tempatnya di KUA, Gereja, Pura, Masjid,  objeknya 2 orang (berdua).
2.       Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguholeh penutur. Misalnya: Saya mohon maaf atas kesalahan saya. Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan menginjak kaki mitra tutur-nya.

Syarat itu juga belum cukup, kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle, sebagai berikut.
1.       Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mengemukakan tuturannya. Misalnya: Saya berjanji akan setia padamu. (the act of promising).
2.       Penutur harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau mampu melakukan apa yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya: Sesuk kowe tak-tukokke sepur (yakin tidak, kalau tidak berarti bukan tuturan performatif).
3.       Tuturan harus mempredikasi tindakan yan g akan dilakukan, bukan yang telah dilakukan. Misalnya: Saya berjanji akan setia.
4.       Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, bukan oleh orang lain. Misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan selalu datang tepat waktu.
5.       Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Misalnya: Aku njaluk pangapura marang sliramu, tumindakku kang ora ndadekake renaning penggalihmu. (Orang perta dan kedua melakukan tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu dikatakan tidak valid (infelicition).

Tuturan konstatif atau deskriptif (constative utterance): tuturan yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb. dan sifatnya betul atau tidak betul (Kridalaksana, 1984: 2001)., atau Austin mengatakan bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 316).
Misalnya:
1.       Ali pergi ke Jakarta
2.       Saya tidur di hotel.

A constative is an utterance which assert something that is either true or false; for example, Chicago is in the United States (Richards dkk., 1989: 212-213).

TINDAK TUTUR
(Speech Act)

A. Pengertian
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154)
Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265).Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jamsanga ia tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)

B. TINDAK TUTUR DAN JENIS-JENISNYA
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.

3.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

3.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1)  TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2)  TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3)  TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4)  TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
(5)  TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993:  dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.

(1)  Kalimat bermodus imperatif      :  Pindhahen meja iki!
(2)  Performatif eksplisit                   :  Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3)  Performatif berpagar                 :  Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.
(4)  Pernyataan keharusan               :  Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5)  Pernyataan keinginan                :  Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6)  Rumusan saran                            :  Piye yen meja iki dipindhah?
(7)  Persiapan pertanyaan                :  Kowe bisa mindhah meja iki?
(8)  Isyarat kuat                                  :  Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9)  Isyarat halus                                 :  Kamar iki kok katone sesak ngono ya?

3.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
(1)  TT-LH         :  “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2)  TT-LTH       :  “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3)  TT-TLH       :  “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4)  TT-TLTH     :  “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.

Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1)  Tindak tutur langsung (TT-L)
(2)  Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3)  Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4)  Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5)  Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6)  Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7)  Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8)  Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur (selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi(melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:

1.
Lokusi n mengatakan kepada t bahwa X. (merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).
2.
Ilokusi Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P. (Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa X sama halnya menolak bahwa X.)
3.
Perlokusi Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P. (Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang tidak dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakanSaya mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)

Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request) memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).

1. TT lokusi:  Austin, perbuatan bertutur, hal mengungkapkan sesuatu atau menyatakan sesuatu (locutionary speech act).
Misalnya: Dia sakit.
Kaki manusia dua.
Pohon punya daun.
Wacana-wacana ilmiah yang tidak menekankan emosi termasuk TT lokusi. TT ini sangat sedikit peranannya dalam pragmatik.

2. TT ilokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu ataumelakukan sesuatu, mis. memperingatkanbertanya (illocutionary speech act).
Misalnya: Saya berjanji.
Ibunya di rumah! (bisa bermaksud melarang datang menemui anaknya)
Bapaknya galak! (bisa melarang jangan ke sana)
Saya tidak dapat datang. (minta maaf)
Kula nyuwun sekilo. (membeli)
Temboknya dicat! (jangan dekat tembok itu)
Adoh lho le! (jangan ke sana)
3. TT perlokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, dll. atau mempengaruhi orang lain (perlocutionary speech act)
Misalnya:  Tempat itu jauh.

Tempat itu jauh
Lokusi
Lokusi
Perlokusi
Tempat itu jauh.
Tempat itu jauh.
Tempat itu jauh.
mengandung pesan.
metapesan ‘Jangan pergi ke sana!’
metapesan (Dalam pikiran mitratutur ada keputusan) “Saya tidak akan pergi ke sana.”


C. Tindak tutur langsung-tidak langsung dan literal-tidak literal

Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya, kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).

Berita
Tanya
Perintah
Adiknya sakit. Di mana handuk saya? Pergi!
Informasi ya, tidak (apa, intonasi) informasi (apa, siapa, di mana, kapan, ke mana, untuk apa, dsb.) larangan, ajakan, dan perintah biasa
TT langsung (direct speech) TT langsung (direct speech) TT langsung (direct speech)

Berdasarkan mudusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan langsung dan tutran tidak langsung. Misalnya:
[Tuturan langsung]
A: Minta uang untuk membeli gula!
B: Ini.

[Tuturan tidak langsung]
A: Gulanya habis, nyah.
B: Ini uangnya. Beli sana!

Kadang-kadang secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah, sehingga merupakan TT tidak langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu yang penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:

1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan pergi ke sana).
2. Adiknya sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)

Berdasarkan keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal literal.
1. Tuturan literal: tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka mulutnya! (makna lugas: buka).
2. Tuturan tidak literal: tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan. Misalnya, Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘nglulu’

Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter[bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’).

Masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila disinggungkan (diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.
1. TT langsung
2. TT tidak langsung
3. TT literal
4. TT tidak literal
5. TT langsung literal
6. TT tidak langsung literal
7. TT langsung tidak literal
8. TT tidak langsung tidak literal

Misalnya, kalimat Radione kurang banter.

1.
TT langsung Radione kurang banter. betul-betul kurang keras.
2.
TT tidak langsung keraskan radionya!
3.
TT literal betul-betul kurang keras.
4.
TT tidak literal suara radionya keras sekali.
5.
TT langsung literal betul-betul kurang keras
6.
TT tidak langsung literal keraskan radionya!
7.
TT langsung tidak literal suara radionya keras sekali.
8.
TT tidak langsung tidak literal matikan!







PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)

Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajr tentang ‘asumsi pragmatik’.
Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).
Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
Contoh:
kikir                            : q2r
berdua satu tujuan  : ber-217-an
tekate dhewe                        : TKTDW
kutujukan                  : ku√49kan
wawan                       : wa-one
prawan ayu               : pra one are you
kian maju                   : q-an maju
lali main                     : la5in
dik daniel                   : dick&niel
kaki lima                    : kq lima
thank before             : thx b4
aku                             : aq
kamu                          : u
sama-sama               : =
yang                           : y9
sayang                       : sy9
anti gadis                   : an3dis
dan                             : n


Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.

(1)  Maksim kuantitas:
a.  Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b.  Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

(2)  Maksim kualitas:
a.  Katakanlah hal yang sebenarnya.
b.  Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c.  Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.

(3)  Maksim relevansi:
a.  Katakan yang relevan.
b.  Bicaralah sesuai dengan permasalahan.

(4)  Maksim cara:
a.  Katakan dengan jelas.
b.  Hindari kekaburanan ujaran.
c.  Hindari ketaksaan.
d.  Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e.  Berkatalah secara sistematis.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas?
Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar juga masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.


Asumsi pragmatik ini merupakan titik acuan (point of reference). Untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus memenuhi prinsip (maksim). Dalam pragmatik dikontrol oleh maksim (principle controlled), sedangkan dalam gramatika/ tatabahasa diatur oleh kaidah (rule governed).
Terdapat beberapa asumsi pragmatik, yaitu:

1. Maksim kuantitas
Berbicara sejumlah yang dibutuhkan oleh pendengar. Kalau lebih berarti ada tujuannya. Misalnya: Ibu kota Provinsi Jawa Timur Surabaya. (Secara kuantitas cukup jelas). Ibu kota Provinsi Jawa Timur Sura …… Tuturan ini disampaikan oleh guru, lalu murid menjawab ….. baya.

2. Maksim kualitas
Prinsip yang menghendaki orang-orang berbicara berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Misalnya: Buku itu dibuat dari kertas. Bukti cukup memadai, tetapi apabila ada tuturan *Buku itu dibuat dari nasi, bukti tidak memadai. Dalam kaitannya dengan maksim kualitas, terdapat penyimpangan maksim, misalnya Modal saja tidak bisa dan Untung saja tidak dapat.

3. Maksim relevansi
          Penutur dan mitra tutur berbicara secara relevan berdasarkan konteks pembicaraan.
Misalnya:
A         : Ini jam berapa?
B         : Ini jam 3.
Akan menjadi tidak relevan misalnya apabila B menjawab Ini baju kamu atau Di sana.

4. Maksim cara
          Tuturan harus dikomunikasikan secara wajar, tidak boleh ambigu (taksa), tidak terbalik (harus runtut).
Misalnya:
A         : Dia penyanyi solo.
B         : Benar, dia sering tampil di TVRI.
Tetapi kadang-kadang dalam tuturan yang wajar terjadi dis-ambiguasi (pengawaambiguan), sehingga kata-kata yang ambigu itu hanya satu makna.
Misalnya:
A         : Kamu penjahat kelas kakap, ya?
B         : Bukan, mujair.

A         : Ini Tanah Abang, ya?
B         : Jangan menghina, masak saya miskin seperti ini punya tanah.

Keempat prinsip tersebut di atas termasuk pada jenis ‘retorika tekstual’ sebab dalam pragmatik dikenal adanya retorika tekstual dan retorika interpersonal.
Retorika tekstual harus memenuhi 4 prinsip (maksim) kerja sama, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan retorika interpersonal harus memperhitungkan orang lain. Jadi tidak hanya bersifat tekstual.
Retorika interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Ada 6 macam prinsip agar memenuhi prinsip kesopanan.

Sebelum sampai pada prinsip kesopanan, perlu mengingat kembali dari adanya kategori sintaktik yang terdiri dari berita, tanya, dan perintah. Dalam kategori pragmatik didasarkan pada fungsi komunikatifnya. Yang diperhatikan adalah tuturan. Dalam kaitannya dengan kategori pragmatik ini ada tuturan komisif, tuturan impositif (direktif), tuturan asertif, tuturan ekspresif.
1. Tuturan komisif: berjanji, menawarkan. Misalnya:
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia.
Swear.
2. Tuturan impositif (direktif): menyuruh, memerintah, memohon. Misalnya:
Apakah Anda bisa menolong saya.
          Saya akan datang
(ada efek yang lain untuk memerintah)
3. Tuturan asertif: menyatakan sesuatu (objektif). Misalnya:
Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa.
          Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS memiliki 8 jurusan.
4. Tuturan ekspresif: menyatakan perasaan (emosi). Misalnya:
          Gedung itu indah sekali.
          Gadis itu cantik sekali.
Kadang-kadang sulit dibedakan antara tuturan asertif dengan ekspresif.

Selanjutnya agar memenuhi prinsip (maksim) kesopanan, berikut ini inti 6 prinsip kesopanan menurut Leech.

1. Maksim kebijaksanaan/kedermawanantact maxim. Ditujukan pada orang lain (other centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji dan menawarkan (impositif, komisif).
= memaksimalkan keuntungan orang lain, meminimalkan kerugian orang lain.
Misalnya:
Ada yang bisa saya bantu?
A     : Mari saya bawakan!
B     : Tidak usah.

Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.

2. Maksim penerimaan (approbation maxim). Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang lain (self centred maxim). Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji.
= memaksimalkan kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Misalnya:
    Bolehkah saya bantu?
    Mari saya bantu.
    Apakah Anda bersedia membawakan?
    Bawakan ini! (tidak sopan)
    Mari saya antarkan!
    Tolong saya dihantarkan!

3. Maksim kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim) Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif.
= memaksimalkan rasa hormat pada orang lain, meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
Misalnya:
    Omahmu jane apik, ning emane cedhak pabrik.
    Pekarangane jembar, nanging emane akeh sukete.

4. Maksim kerendahhatian (modesty maxim). Pusatnya pada diri sendiri (self centred maxim).
= meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A     : Kau sangat pandai.
B     : Ah tidak, biasa-biasa saja.

A     : Mobilnya bagus!
B     : Ah, begini saja kok bagus.

5. Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement maxim). Pusatnya pada orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif.
= memaksimalkan kesetujuan pada orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain.
Misalnya:
A     : Omah kuwi apik.
B     : Iya, apik banget.

A     : Omah kuwi apik banget.
B     : Wah elek banget ngono kok.
(Ketidaksetujuan total / tidak sopan)

A     : Wah, ayu banget ya dheweke?
B     : Iya, ning rada …. (kera).
(Ketidaksetujuan parsial / sopan)

6. Maksim kesimpatian (symphaty maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan asertif dan ekspresif.
= memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
Misalnya:
A     : Saya lolos di UMPTN, Jon.
B     : Selamat, ya.

A     : Baru-baru ini dia telah meninggal.
B     : Oh, saya turut berduka cita.

PRAGMATIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Pragmatik sebagaimana yang diperbincangkan di indonesia dewasa ini paling tidak dapat dibedakan atas dua hal sebagai berikut: “(1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar”. pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan masih dapat dibedakan lagi atas: “(1) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (2) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa”. Pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa lazim pula disebut “fungsi komunikatif”.
             Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dapat pula disebut “mengajar pragmatik” atau mengajar tentang bahasa yang salah satu bidangnya adalah pragmatik. Sebagai bahan yang disajikan di dalam kelas, pragmatik itu sejajar dengan mata kuliah lain, seperti sintaksis dan semantik. Kelas seperti itu adalah kelas tempat belajar tentang bahasa, bukan belajar bahasa.
             Pragmatik sebagai “fungsi komunikatif” biasanya disajikan di dalam pengajaran bahasa asing. Setiap bahasa memiliki sejumlah fungsi komunikatif, dan di dalam fungsi komunikatif itu terdapat tujuan-tujuan seperti “menyatakan rasa puas/tidak puas”, “menyatakan setuju/tidak setuju”, dan “menyampaikan ucapan salam atau selamat”. Menurut Bambang (1990: 3), “utaraan-utaraan seperti inilah yang dijabarkan sebagai ‘pokok bahasan’ pragmatik di dalam kurikulum 1984 untuk pengajaran bahasa indonesia”.
Kurikulum bahasa Indonesia 1984 bertujuan untuk mengembalikan pengajaran bahasa kepada fungsi komunikasi tersebut. Ini diupayakan dengan penjabaran kurikulum yang secara jelas dan tegas bertujuan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa dan yang bagian-bagiannya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu itu adalah:
1.   Siapa yang berbahasa dengan siapa;
2.   Untuk tujuan apa;
3.   Dalam situasi apa (tempat dan waktu);
4.   Dalam konteks apa (peserta lain, kebudayaan, dan suasana);
5.   Dengan jalur mana (lisan atau tulisan);
6.   Media apa (tatap muka, telepon, surat, dll.);
7.   Dalam peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, dll.).

            Alasan pemunculan pragmatik dalam kurikulum 1984 bervariasi dari guru ke guru: (1) praktik, kemampuan/keterampilan bahasa siswa masih kurang; bahasanya berbelit-belit dan banyak didominasi oleh bahasa daerah; (2) karena penggunaan bahasa Indonesia siswa belum baik, maka siswa masih perlu banyak belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar; (3) pencapaian hasil pelajaran bahasa Indonesia belum memuaskan; (4) pragmatik melengkapi pelajaran bahasa Indonesia secara utuh; (5) pragmatik menunjang pencapaian tujuan pelajaran bahasa Indonesia dan selalu ada dalam pergaulan hidup sehari-hari; (6) pragmatik tidak terlalu kentara dalam pokok-pokok bahasan lain dalam pelajaran bahasa Indonesia; dan (7) alasan perkembangan bahasa.
Dalam bagian pragmatik kurikulum bahasa Indonesia dimasukkan unsur-unsur pelajaran bahasa untuk berbagai tingkat sekolah antara lain sebagai berikut:
a.    Di Sekolah Dasar (SD)
1.      Mengungkapkan perasaan tentang sesuatu yang menarik
Contoh: Alangkah indahnya pemandangan di Pulau Bali!
2.      Memberitahukan sesuatu melalui telepon
Contoh: Halo…, Mira….,  Pakaiannya sudah jadi, tinggal diambil.
b.   Di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1.      Mengungkapkan informasi faktual tentang sesuatu
Contoh: Tadi pagi Deden kecelakaan.
2.      Memberitahukan berita duka melalui telepon
Contoh: Halo…, Mira…, tadi pagi kakek meninggal!
c.    Di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Tatakrama berbahasa dalam berdiskusi, misalnya mempersilakan peserta rapat untuk mengemukakan sanggahan.
Contoh: Maaf, saya kurang setuju dengan pendapat Anda.
Pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA bertujuan untuk mempersiapkan siswa untuk hidup sebagai anggota masyarakat dan bangsa Indonesia yang sanggup memberikan sumbangan bagi pelajaran dan pengembangan nilai-nilai dan potensi bangsa Indonesia bagi persatuan dan pembangunan masyarakat adil dan makmur. Disinilah letak pentingnya belajar bahasa Indonesia sebagai keterampilan pragmatik berbahasa dan menghargai bahasa Indonesia sebagai perekat masyarakat, alat komunikasi secara nasional dan lambang terpenting bangsa Indonesia (Tarigan, 1986: 184).
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan buku LKS di kantor, dia dapat memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:
(1)  Ambilkan buku puisi di ruangan saya!
(2)  Disini tidak ada buku puisi.
(3)  O, ternyata tidak ada buku puisi.
(4)  Disini tidak ada buku puisi, ya?
(5)  Mengapa tidak ada yang mau mengambil buku puisi?
Dengan demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat deklaratif seperti tuturan (2-3), atau kalimat interogatif seperti tuturan (5-6). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).

Selasa, 11 September 2012

perencanaan pembelejaran bahasa indonesia

A. Perencanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Perencanaan adalah suatu proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan. Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan terhadap proses yang akan dilakukan dalam pembelajaran, sehingga tercipta  situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
  Menurut Ahmad dan Ahmadi (1995:64), “Desain pembelajaran adalah suatu pemikiran atau persiapan untuk melaksanakan tugas mengajar/aktivitas pengajaran dengan menerapkan prinsip-prinsip pengajaran serta melalui langkah-langkah pengajaran, perencanaan itu sendiri, pelaksanaan, dan penilaian, dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.”
Menurut Akhlan dan Rahman (1997:15), perencanaan pengajaran meliputi:
a.  tujuan apa yang hendak dicapai;
b.  bahan pengajaran;
c.  proses belajar mengajar;dan
d. alat penilaian.



Perencanaan pengajaran  meliputi keempat unsur tersebut merupakan faktor penting dalam penentuan langkah awal dalam pelaksanaan perencanaan pembelajaran di kelas. Tujuan pembelajaran yang dibuat guru sebagai standar pencapaian kompetensi dalam proses belajar mengajar. Bahan pembelajaran digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam proses belajar mengajar dan mendukung kegiatan belajar yang dilakukan guru dan siswa berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya oleh guru dan pada pelaksanaannya guru juga mempersiapkan alat pendukung yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dibuat.
Menurut Akhlan dan Rahman (1997:7), karakteristik perencanaan pengajaran yang baik hendaknya mengandung prinsip sebagai berikut.
a.    Mengembangkan hubungan interaksi yang baik di antara sesama manusia, dalam hal ini siswa dan guru serta personal terkait.
b.    Merupakan suatu wahana atau wadah untuk mengembangkan segala potensi yang ada dan dimiliki oleh anak didik.
c.     Memiliki sikap objektif rasio (tepat dan masuk akal), komprehensif dan sistematis (menyeluruh dan tersusun rapi).
d.  Mengendalikan kekuatan sendiri, bukan didasarkan atas kekuatan orang lain,
e.    Didukung oleh fakta dan data yang menunjang pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
f.     Fleksibel dan dinamis, artinya mudah disesuaikan dengan keadaan serta perkembangan ke arah yang lebih baik dan maju.


Setiap pembelajaran didahului dengan pembuatan rencana pengajaran yang meliputi program tahunan, semester dan persiapan mengajar. Rencana pengajaran disusun berdasarkan silabus dan disesuaikan dengan kalender pendidikan yang berlaku, jadwal mata pelajaran yang berlangsung dan sarana yang tersedia. Program tahunan merupakan rencana pembelajaran selama satu tahun disusun berdasarkan kurikulum yang disesuaikan dengan kalender pendidikan yang berlaku.
Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang terorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan itu bertujuan untuk menentukan lingkungan belajar yang baik, lingkungan yang menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa nyaman dan keluasan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
Perencanaan proses belajar mengajar merupakan faktor yang mendukung kondisi belajar di kelas yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar mengajar yang dilakukan oleh sekelompok siswa. Sehubungan dengan hal ini, maka perencanaan guru dalam implementasi proses belajar mengajar sebagai berikut.
a. Perencanaan intruksional.
b. Organisasi belajar.
c. Mengarahkan anak didik.
d. Supervisi dan pengawasan.
e. Penelitian assesment. (Akhlan dan Rahman, 2007:16)

Perencanaan Intruksional yaitu alat atau media yang digunakan untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar pada proses belajar mengajar di kelas. Organisasi belajar itu sendiri merupakan wadah dan fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk menciptakan proses belajar mengajar di kelas.

Guru harus menentukan tujuan pembelajaran khusus, bahan kajian, pendekatan, metode, sumber belajar, dan alat penilaian dalam perencanaan pengajaran. Uraian lebih rinci mengenai setiap komponen perencanaan pengajaran dapat di lihat dalam pembahasan sebagai berikut.
a.  Perumusan Tujuan Pembelajaran Khusus Kompetensi
Perumusan tujuan pembelajaran khusus atau kompetensi adalah tujuan atas kompetensi yang diharapkan dapat dicapai siswa setelah berperan serta dalam setiap rencana pengajaran. Selain itu, tujuan pembelajaran khusus dikenal dengan istilah tujuan intruksional khusus. Tujuan pembelajaran ini dirumuskan berdasarkan tujuan kelas dan butir-butir pembelajaran yang diambil dalam unit atau tema.
b. Penentuan Bahan atau Materi Pembelajaran
Penentuan bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam perencanaan pembelajaran mengacu pada bahan kajian yang tertuang dalam kurikulun KTSP dan silabus pada bagian butir pembelajaran. Bahan kajian tersebut dijabarkan dan disesuaikan dengan tujuan peningkatan keterampilan  berbahasa. Guru dapat melakukan penjabaran penyesuaian bahan kajian sesuai dengan kebutuhan dalam lingkup tujuan yang ditetapkan dalam silabus bahasa Indonesia. Materi pengajaran adalah bahan yang harus dipelajarai dan dikuasai oleh siswa dalam proses pembelajaran yang terdiri dari kompetensi-kompetensi.
c. Penentuan Pendekatan
a) Pendekatan Komunikatif
Menurut Sentosa (dalam Mutia, 2008:33), pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran empat keterampilan berbahasa dan menghargai saling ketergantungan bahasa.
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran, yaitu kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Siswa dibimbing untuk dapat menggunakan bahasa, bukan mengetahui tentang bahasa.
Ciri-ciri peserta didik yang disesuaikan dengan konsep pendekatan komunikasi yaitu: (1) selalu berkeinginan untuk menafsirkan tuturan secara tepat, (2) berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu berkomunikatif, (3) tidak merasamalu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi, (4) selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi, (5) frekuensi latihan berbahasa lebih tinggi, dan (6) selalu mementau ujaran sendiri dan ujaran mitra bicaranya untuk mengetahui apakah pola-pola bahasa yang diucapkan tersebut dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.
 b) Pendekatan Integratif (Whole Language)
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki empat aspek keterampilan. Setiap aspek tidak dapat berdiri sendiri karena keempat keterampilan (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diikuti keterampilan yang lain yang saling membutuhkan, contohnya keterampilan menyimak, selalu diikuti dengan keterampilan berbicara, karena sesuatu yang didengar atau disimak adalah suatu ujaran melalui kegiatan berbicara. Maka dari itu, pengajaran keterampilan berbahasa disajikan secara utuh dan bermakna dalam situasi nyata.
Menurut Prakorso dan Surasinah (dalam Mutia, 2008:36), “Integratif (Whole Language) adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yag terlibat dalam pembelajaran, dalam hal ini orang-orang yang dimaksud adalah siswa dan guru”. Pelaksanaan pembelajaran oleh guru bahasa Indonesia menggunakan empat aspek keterampilan tersebut yang saling berkait dalam penedekatan pembelajaran berbahasa dan bersastra.
Penentuan pendekatan pada  pelaksanaan proses belajar menggunakan pendekatan integratif, kontekstual, dan komunikatif, yang mengarahkan pembelajaran bahasa Indonesia pada tujuan pembelajaran yang mementingkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Ketiga pendekatan pembelajaran tersebut dapat digunakan secara bersamaan, karena pada proses pembelajaran untuk menjadikan siswa terampil dalam berbahasa.
c) Pendekatan Kontekstual
Departemen Pendidikan Nasional (2002:1), Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antar materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa. Guru memotivasi siswa  membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinnya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.”
          Dalam pendekatan kontekstual ini menuntut siswa agar konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata. Peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar, dan merasa akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya.
Tujuh komponen yang terdapat dalam pendekatan kontekstual. (Departemen Pendidikan Nasional, 2002:1)
(a) Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas dengan konteks yang terbatas. Siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
(b) Menemukan (Inquiry)
Inquiri merupakan bagan inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan buka hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil menemukan sendiri.
(c) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing , dan menilai kemampuan berpikir siswa.

(d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ’ Sharing’ antar teman, juga antar kelompok belajar.
(e) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan maksudnya, dalam pembelajaran keterampilan atau  pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru.
(f) Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.
(g) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesmanf)
Assesmant adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar.
d. Penentuan Metode
Penentuan metode mengajar merupakan ciri khas muatan pelajaran  bahan kajian, persediaan sumber belajar, dan alat pembelajaran. Menurut Subana, dkk (2001:20), “Metode ialah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu.” Jadi, metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan yang digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar yang kondusif agar peserta didik mencapai kompetensi dasar yang disesuaikan degan situasi dan kondisi peserta didik serta karakteristik setiap indikator atau kompetensi yang hendak dicapai.
 Metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia antara lain: metode ceramah. diskusi, brainstorming, stimulasi, demontrasi, dan discovery- inquiry. Sedangkan Menurut Suwarna (2002:79-83), metode yang sering digunakan untuk pengajaran bahasa Indonesia diantaranya metode ceramah, demontrasi, pemecahan masalah, diskusi eksperimen, kerja kelompok sosiodrama, dan penugasan. Penjelasannya sebagai berikut.
a) Metode ceramah adalah cara penyajian materi pembelajaran yang dilakukan guru dengan peraturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap pembelajaran.
b)  Metode tanya jawab adalah cara penyajian materi pembelajaran dalam pertanyaan yang harus diajukan baik secara dua arah maupun tiga arah.
c)  Metode demontrasi adalah cara penyajian materi pembelajaran dengan memperagakan atau menunjukan kepada siswa tentang suatu proses, situasi, atau benda yang sedang dipelajari, baik sebenarnya maupun tiruan, yang sering disetai dengan penjelasan secara lisan.
d)    Metode karya wisata adalah cara penyajian materi pembelajaran dengan mengajar bahan-bahan atau sumber belajar yang ada di luar kelas.
e)    Metode pemecahan masalah adalah cara penyajian materi pembelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan ntuk dianalisis dalam usaha mencari jawaban dan penyelesaian.
f)     Metode diskusi adalah cara penyajian materi pembelajaran dengan secara berkelompok untuk mempersentasekan hasil pembelajaran tersebut.
g) Metode eksperimen adalah cara penyampaian materi pembelajaran dengan melakukan percobaan tersebut.
h)    Metode bekerja kelompok adalah cara penyampaian materi pembelajaran dengan jalan membagi kelas ke dalam kelompok-kelompok dengan tugas tertentu.
i)  Metode Sosiodrama adalah cara penyampaian materi pembelajaran dengan cara mendramatisasi suatu topik.
j)  Metode penugasan adalah cara penyajian materi pembelajaran dengan cara guru memberikan tugas tertentu agar pembelajaran melakukan kegiatan dan melaporkan hasilnya.




Menurut Subana, dkk (2001: 196), ”Teknik ialah berbagai cara atau alat yang digunakan guru dalam kelas untuk mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan pembelajaran.” Metode yang umum yang sering digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran  sebagai berikut.
a. Teknik  tanya-jawab adalah teknik pembelajaran untuk memberikan motivasi kepada siswa agar timbul keinginan dalam dirinya untuk bertanya selama mendengarkan pelajaran atau berusaha menjawab bila guru mengajukan pertanyaan.
b.    Teknik pemberian tugas merupakan teknik pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk yang telah dipersiapkan guru sehingga siswa dapat mengalami kegiatan belajar secara nyata.
c.     Teknik latihan adalah suatu teknik mengajar yang mendorong siswa untuk melaksanakan kegiatan latihan agar memiliki ketangkasan atau keterampilan yang lebih tinggi dari apa yang dipelajari
d. Teknik Simulasi adalah memberikan kemungkinan kepada siswa untuk menguasai suatu keterampilan melalui latihan dalam situasi tiruan.

e. Penentuan Sumber Belajar
Penentuan sumber belajar ditentukan dalam lingkup bahan kajian, tema, dan subtema yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan guru maupun sekolah itu sendiri. Menurut Suwarno, (dalam Murni, 2007:26) mengemukakan;
” Bahan sumber belajar dapat berupa, buku pelajaran ynag diwajibkan, buku pelajaran yang pernah dipakai yang masih sesuai, buku pelengkap, buku bacaan, kamus ensiklopedia, majalah berbahasa, media cetak dan media elektronik radio, kaset, TV, vidio, lingkungan alam, sosial, budaya, dari narasumber, dan minat serta hasil karya pembelajaran”


f. Penentuan Alat atau Media Pembelajaran
Penentuan alat atau media pelajaran untuk setiap pembelajaran bahan kajian tertentu tidak dicantumkan dalam silabus bahasa Indonesia. Guru harus memperhatikan tujuan pembelajaran atau komponen bahan kajian tertentu dalam silabus, pendekatan, metode, dan sumber. Guru dapat menentukan alat pelajaran yang paling efektif sesuai dengan keadaan dan kebutuhan seperti: buku paket, OHP, gambar, sketsa, dan sebagainya. Menurut Santoso (dalam Subana dkk, 2001:287), media pendidikan ialah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu mengajar dan belajar.
Empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan dan pengembangan media yaitu: (1) ketersediaan sumber (media), (2) adanya tenaga, dan fasilitas, (3) keluwesan, kepraktisan, dan kebutuhan untuk waktu lama, (4) efektifitas biaya dan waktu yang lama (dalam kusnadi, 2001:28) Dich & Carry (1978).
Secara umum media pembelajaran dapat dibagi menjadi berikut.
a) Media Audio yaitu media penyampaian berupa suara-suara yang dapat didengar. Jenis media audio yang dapat digunakan di dalam kelas adalah berbagai jenis alat rekaman seperti tape, rekorder, cassette, dan radio.
b) Media Visual yaitu media yang hanya dapat dipandang karena cara penggunaan media tersebut melalui pandangan/ pengelihatan mata.
Dalam pembelajaran banyak media yang biasa digunakan baik audio maupun visual yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, seorang guru harus terampil dalam memilih dan  menggunakan media pembelajaran.
g. Penentuan Penilaian atau Evaluasi
 Penentuan penilaian pada silabus bahasa Indonesia berdasarkan hasil belajar siswa yang sesuai dengan kebutuhan, dan perencanaan pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran di kelas akan lebih (efesien dan efektif). Proses analisis terhadap tujuan pembelajaran bahasa Indonesia baik meteri, dan bentuk evaluasi  yang akan diberikan kepada siswa  akan membantu siswa mengetahui kemampuannya dalam memperoleh materi
Menurut Mulyasa (2006:212) rencana pelaksanaan pembelajaran adalah    rencana yang menggambarkan prosedur  dan manajemen pelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang terdiri atas satu indikator atau beberapa indikator untuk satu kali pertemuan atau lebih. Dalam KTSP, guru diberikan wewenang secara leluasa untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kondisi sekolah, serta kemampuan guru itu sendiri dalam menjabarkannya menjadi pelaksanaan pembelajaran yang siap dijadikan pedoman pembentukan kompetensi peserta didik
Berdasarkan peraturan  Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 standar proses pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Guru sebagai fasilatator mempunyai peranan penting dalam menyiapkan  pembelajaran sebelum di laksanakan di dalam kelas.
Perencanaan proses pembelajaran meliputi sebagai berikut.
a.  Silabus
Silabus sebagai acuan pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar. Setiap pendidik berkewajiban menyususn RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpatisipasi aktif.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran disusun untuk setiap kompetensi dasar yang dapat dilaksanakan dalam aktivitas pembelajaran. Pendidik (guru) merancang RPP untuk setiap aktivitas pemebelajaran yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.
Komponen RPP meliputi sebagai berikut.
a)  Identitas mata pelajaran
Identitas mata pelajaran meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester/tingkatan, program, mata pelajaran atau tema pelajaran, dan jumlah aktivitas pembelajaran.
b)  Standar kompetensi
Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, siskap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas/semester pada suatu mata pelajaran.
c)  Kompetensi dasar
Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kmpetensi dalam suatu pelajaran.
d)  Indikator pencapaian kompetensi
Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran.
e)  Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dari hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
f)  Materi ajar
Materi ajar memuat fakta. Konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
g)  Alokasi waktu
Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian kompetensi dasar dan beban belajar.
h)  Metode pembelajaran
Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yag telah ditetapkan.
Kegiatan pembelajaran meliputi sebagai berikut.
(a)   Kegiatan awal
Kegiatan awal merupakan awal suatu pertemuan pembelajaran yang ditunjukan untuik membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
(b)  Inti
Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, memantang dan lainnya.
(c)  Kegiatan akhir
Kegiatan akhir merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, umpan balik, atau tindak lanjut.
i) Sumber belajar
Sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi.
j) Penilaian hasil belajar
Prosedur penilaian disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu pada standar penilaian.
Prinsip-prinsip penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (PERMENDIKNAS NO.19 TAHUN 2005) sebagai berikut.
a. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik.
b. Mendorong partisipasi peserta didik.
c. Mengembangkan budaya membaca dan menulis.
d. Memberi umpan balik dan tindak lanjut.
e. Keterkaitan dan keterpaduan.
f. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
Persiapan atau perencanaan lebih ditekankan pada persiapan atau prencanaan akademis. Beberapa kegiatan penting yang perlu dilakukan pada tahapan ini:
a. guru mengecek atau membuat silabus;
b. guru menentukan tujuan pembelajaran;
c. guru membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP);
d. guru memilih model intruksi yang dipakai dan lain bantu pengajaran lain yang  relevan;
e. guru menentukan cara penilaian atau evaluasi yang akan dipakai untuk mengetahui   kemajuan belajar siswa;
f. guru menentukan kapan pengajaran dimulai dan dimana pengajaran itu dilaksanakan;
g. menentukan buku bacaan wajib dan pilihan; dan
h. guru membuat ringkasan informasi pelajaran yang dituliskan dua atau tiga halaman dan dibagikan kepada siswa, agar semua yang disampaikan atau dijelaskan oleh guru dapat dimengerti oleh siswa. (PERMENDIKNAS NO. 19 TAHUN 2005)
Disamping mempersiapkan hal-hal yang bersifat teknis tersebut, pengajar perlu melakukan persiapan akademis dalam arti bahwa ia juga harus belajar dan menguasai apa yang akan diajarkan. Bila pengajar khawatir lupa atau  bahan ajar yang diberikan itu tidak sistematis, maka pengajar tersebut harus membuat catatan yang berupa ringkasan bahan ajar atau sekedar garis-garis besar dari apa yang akan diberikan.

B. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia
 Situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses belajar mengajar itu sendiri. Guru sepatutnya peka terhadap berbagai situasi yang dihadapi dalam proses pembelajaran. Seharusnya guru dapat menyesuaikan pola tingkah laku dalam mengajar terhadap situasi yang dihadapi. Seperti halnya diungkapkan oleh Umar dan Syambasril dalam bukunya mengungkapkan bahwa seorang guru yang baik perlu memiliki persyaratan sehingga dapat melaksanakan tugasnya sebagai berikut.
a. Penguasaan materi pelajaran
            b. Kemampuan menerapkan prinsip-prinsip psikologi
            c. Kemampuan menyelenggarakan proses belajar mengajar
            d. Kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi. (Umar dan Syambasril, 2006:4-6)
Keempat persyaratan di atas merupakan faktor yang sangat penting dan harus dimiliki seorang guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik. Sardiman (2004:166), mengemukakan bahwa sebagai seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas perlu memperhatikan hal sebagai berikut.
a.   Menyampaikan materi pelajaran dengan baik dan jelas.
b.    Pertanyaan yang diajukan cukup merangsang untuk berpikir, mendididk dan mengenai sasaran.
c.     Memberikan kesempatan atau mencapaikan kondisi yang dapat menimbulkan pertanyaan dari siswa.
d.   Terlihat adanya variasi dalam pemberian materi dalam kegiatan.
e.    Guru selalu memperhatikan reaksi dan tanggapan yang berkembangan pada diri siswa baik verbal maupun nonverbal.
f.     Memberikan pujian dan penghargaan bagi jawaban yang tepat bagi siswa dan sebaliknya mengarahkan jawaban yang kurang tepat.




Guru sebagai pelaksana proses belajar mengajar dituntut memiliki berbagai keterampilan dalam menyelenggarakan kegiatan pengajaran di kelas yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan, agar proses pembelajaran di kelas berlangsung dengan baik.
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP, (PERMENDIKNAS NO.19 TAHUN 2005), meliputi kegiatan pendahuluan, Kegiatan inti, dan Kegiatan penutup.
a.  Kegiatan pendahuluan
     Dalam kegiatan pendahuluan, pendidik melaksanakan hal sebagai berikut.
a) Guru menyiapkan kondisi pembelajaran agar peserta didik terlibat baik secara psikis maupun fisik sehingga siap mengikuti proses pembelajaran.
b)  Guru mencatat kehadiran peserta didik.
c)  Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
d) Guru menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
e) Guru mengajukan pertanyaan berkenaan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik untuk mengaitkan dengan materi yang akan dipelajari.
b. Kegiatan inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang dilakukan secara interaktif, insprinsif, menyenangkan dan lainnya. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a) Eksplorasi
 Dalam kegiatan eksplorasi, pendidik melaksanakan hal sebagai berikut.
(a) Guru membimbing peserta didik untuk mendemontrasikan pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan topik/tema yang akan dipelajari.
(b) Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan mendalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dari berbagai sumber belajar dan memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.
(c)   Guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lainnya.
(d) Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan pendidik, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
(e) Guru melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan    pembelajaran.
(f)   Guru memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan dilaboraturium, studio,   dan lapangan.
b) Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, pendidik melaksanakan hal sebagai berikut.
(a) Guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna.
(b) Guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru secara lisan maupun tulisan.
(c) Guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, memecahkan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut.
(d) Guru memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaborasi.
(e)  Guru memfasilitasi  peserta didik berkompetensi secara sehat untuk  meningkatkan prestasi belajar.
(f)   Guru memfasilitasi  peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tulisan, secara individual maupun kelompok.
(g) Guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.
c) Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, pendidik melaksanakan hal sebagai berikut.
(a) Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.
(b) Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber.
(c) Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan.
(d) Guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.
c. Kegiatan penutup
Dalam kegiatan penutup, pendidik melaksanakan hal sebagai berikut.
a) Guru bersama-sama dengan peserta didik membuat rangkuman/ kesimpulan pelajaran.
b) Guru bersama peserta didik melakukan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
c) Guru melakukan penilaian terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
d) Guru memberi umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.
e) Guru melakukan kegiatan perencanaan tindak lanjut.
f) Guru memotivasi peserta didik untuk mendalami materi pembelajaran melalui kegiatan belajar mandiri.
g) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Kegiatan mengajar harus merupakan suatu rangkaian utuh dari setiap tahapan mengajar. Artinya tahap demi tahap harus tampak secara berkesinambungan dari awal sampai akhir pelajaran. Secara umum menurut  Sudjana (1989:68) ada tiga tahapan besar dalam mengajar, yakni: ”Tahapan Pemula, Tahapan Pengajaran, dan Tahapan Penilaian atau Tidak Lanjut.”
Untuk lebih jelasnya langkah-langkah dari pendapat Sudjana dijelaskan sebagai berikut.
a. Prainstruksional
 Tahap pra instruksional adalah tahapan yang ditempuh guru saat ia masuk kelas untuk mengajar (Sudjana, 1989:88). Adapun hal-hal yang dilakukan oleh guru sehubungan dengan kegiatan belajar-mengajar yang akan berlangsung sebagai berikut.
a) Guru menanyakan kehadiran siswa dan mencatat siswa yang tidak hadir. Ini menyangkut urusan absensi, termasuk tuntutan administrasi pengajaran.
 b) Guru bertanya kepada siswa, pada pembahasan pelajaran sebelumnya. Hal ini bukan karena guru sudah lupa, tetapi untuk mengecek atau menguji kembali ingatan siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajari. Dengan demikian guru akan mengetahui ada tidaknya kebiasaan belajar siswa di rumah sendiri.
c) Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa tentang bahan pelajaran yang sudah diberikan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tentang pemahaman materi yang telah diberikan.
d) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai bahan-bahan pelajaran yang belum dikuasainya dari pelajaran yang telah diberikan sebelumnya.
Dari penjelasan di atas sudah dapat dilihat bahwa sejak kegiatan pra instruksional saja seorang guru sudah harus menerapkan metode, teknik, media, dan sumber belajar  mengajar bahasa Indonesia yang tepat.
b. Tahap Instruksional
Tahap kedua adalah tahap pengajaran atau tahap inti, yakni tahapan membahas bahan yang telah disusun oleh guru sebelumnya, (Sudjana, 1989:89). Secara umum pada tahapan ini dapat diidentifikasikan beberapa kegiatan sebagai berikut.
a) Guru menjelaskan kepada siswa tujuan pembelajaran  yang harus dicapai siswa.
b) Guru menulis pokok-pokok materi yang akan dibahas hari itu sesuai dengan silabus dan tujuan pembelajaran.
c) Guru membahas pokok-pokok materi yang dituliskanya tadi (untuk poin a, b,    dan c tentunya dalam hal ini diterapkan metode ceramah).
d) Pada setiap pokok materi yang dibahas sebaiknya harus diberikan contoh yang jelas. Demikian pula siswa harus diberikan pertanyaan atau tugas untuk mengetahui tingkat pemahaman setiap pokok materi yang telah dibahas. Dengan demikian penilaian tidak hanya pada akhir pelajaran, tetapi juga pada saat mengajar berlangsung (untuk poin d dapat diterapkan metode mengajar bahasa Indonesia yaitu metode demontrasi, bermain peran, tanya jawab, dan penugasan).
e) Penggunaan alat bantu untuk memperjelas pembahasan setiap pokok materi yang sangat diperlukan.
Alat peraga menurut Sudjana (1989:71) digunakan dalam empat fase kegiatan sebagai berikut;
a.  pada waktu guru menjelaskan bahan kepada siswa;
b. pada waktu guru menjawab pertanyaan siswa sehingga jawabanya lebih jelas;
      c.  pada waktu guru mengajukan pertanyaan kepada siswa atau pada waktu 
memberi tugas kepada siswa;
      d. dipergunakan oleh siswa pada waktu ia mengerjakan tugas yang   diberikan guru dan pada waktu siswa melakukan kegiatan belajar; dan
       f. menyimpulkan hasil pembahasan dari semua pokok materi.
c.  Tahapan Tindak Lanjut
 Tujuan tahapan ini ialah untuk mengetahui tingkat keberhasilan tahapan kedua. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini sebagai berikut.
a) Mengajukan pertanyaan kepada beberapa siswa mengenai semua pokok meteri yang telah dibahas pada tahapan kedua. Pertanyaan dapat dilaksanakan dalam bentuk lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan.
b) Untuk memperkaya pengetahuan siswa mengenai materi yang dibahas, guru dapat memberikan tugas pekerjaan rumah yang ada hubunganya denga topik atau pokok bahasan yang telah dibahas. Akhir pelajaran dengan memberitahukan pokok materi yang akan dibahas pada hari berikutnya, ini perlu untuk dipelajari siswa di rumah.
Inilah letak keterampilan profesional guru, khususnya dalam melaksakan kegiatan belajar-mengajar. Kemampuan mengajar seperti yang dilukiskan dalam uraian di atas secara teoritis mudah dikuasai, namun dalam prakteknya tidak mudah digambarkan seperti di atas.
Oleh karena itu  Hasibuan dkk, (dalam Saharudin, 1997:32) menjelaskan ada beberapa keterampilan dasar diutamakan guru dalam kegiatan belajar mengajar, supaya dapat terpadu dengan baik ketiga tahapan di atas dan kegiatan belajar mengajar bisa mencapai tujuan pembelajaran yang didinginkan. keterampilan dasar yang diutamakan sebagai berikut.
1. keterampilan memberikan penguatan
      2. keterampilan bertanya
      3. keterampilan menjelaskan
      4. keterampilan membuka dan menutup pelajaran
      5. keterampilan menggunakan variasi
      6. keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
      7. keterampilan mengelola kelas
      8. keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.

Inilah tahapan yang harus dilaksanakan guru dalam proses belajar mengajar yang ditunjang dengan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh guru sebagaimana di atas. Keberhasilan proses pelaksanaan pembelajaran di kelas sangat bergantung pada guru dalam menguasai kelas dan menerapkan kemampuan yang dimiliki sehingga kegiatan belajar mengajar di kelas dapat berlangsung dengan baik.