Proses kreativitas, dalam pengertian
yang paling elementer sesungguhnya telah tertanam sejak masa kanak-kanak, sejak
usia bermain-main. Pada usia seperti ini, individu telah belajar menentukan pilihan
terhadap objek-objek yang sesuai dengan seleranya. Individu juga mulai belajar
menentukan sikap, yaitu pola-pola perilaku yang tidak mesti sama dengan orang
lain, baik dengan teman- teman sebaya maupun orang-orang dewasa, bahkan juga
dengan orang tuanya. Dalam setiap individu mulai tertanam dasar-dasar
penghargaan bagi dirinya sendiri, pengakuan terhadap ego, yang sekaligus
disertai dengan terbentuknya ciri-ciri personalitas, proses maturasi, khususnya
proses kreativitas.
Proses kreativitas, khususnya dalam
bidang karya seni, jelas merupakan
dialog-dialog internal, sebagai kontemplasi individual, sebab karya seni adalah
penghargaan, pengakuan, dan penilaian terhadap sifat-sifat etis, estetis, dan
Ilahi, yang kemudian dikonstruksikan dalam suatu kerangka ekspresif. Dengan
ciri-ciri di atas, maka karya kreatif mesti didasarkan atas dimensi-dimensi
kualitas intrinsik, pemahaman personal, tanpa mempertimbangkan keterlibatan
langsung struktur sosialnya.
Respons karya sastra merupakan respons yang
khas, sebab didasarkan atas kehidupan sehari-hari, dan sekaligus
mentransformasikannya ke dalam bentuk respons literer,dalam bentuk respons
metaforis dan imajinatif. Respons sastra memiliki ciri-ciri yang
bermacam-macam, antara lain: respons sublimasi, kompensasi, negasi, afirmasi,
dan inovasi. Sebagai respons, karya berfungsi untuk mengembangkan salah satu
seksi fakta-fakta sosiokultural, agar dapat dikonsumsi dan diapresiasi secara
intens oleh masyarakat. Pengarang dipandang subjek yang memiliki kompetensi
yang paling memadai untuk mementaskan dan menjelaskan respons-respons tersebut.
Sebagai respons sosial, dalam hubungan ini karya sastra identik dengan
manifestasi personalitas, intensi, dan peranan-peranan pengarang.
1.
Peranan
Pengarang dan Intensi Autorial dalam Produksi Karya Sastra
Pada umumnya unsur-unsur kepengarangan
dikaitkan dengan asumsi struktur rohaniah, seperti: kapasitas intelektual dan
logika, kualitasriïoral dan spiritual, fungsi-fungsi didaktis dan ideologis,
yang secara keseluruhan diarahkan pada signifi asi yang bersifat positif.
Pengarang dianggap memiliki kompetensi ganda, kompetensi dalam merekonstruksi
struktur bahasa dan struktur fiksi, sekaligus kapasitas untuk menopang
stabilitas sosial. Eksistensi karya sastra dalam hubungan ini terbatas sebagai
aktivitas pengarang, tanpa keterlibatan pembaca dan lingkungan sosialnya.
Pengarang
merupakan aktor tunggal, personalitas soliter, tanpa menghubungkannya dengan
kondisi-kondisi sosial di sekitarnya. Imajinasi dianggap sebagai kapasitas
individual, yang dengan sendirinya dihubungkan dengan kualitas psikologisnya.
Eksistensi
pengarang dalam struktur sosial menandai mekanisme dialektis infrastruktur
material dengan superstruktur ideologis, yaitu sebagai indeks perkembangan
sosial ekonomi terhadap stabilitas perkembangan sosial politik dan kulturalnya.
Sebagai subjek kreator, eksistensi pengarang, termasuk ilmuwan, tidak
semata-mata didominasi oleh kualitas pembawaan oleh genesis-genesis kreativitas
yang terkandung dalam struktur psikologis, tetapi juga ditentukan melalui
dialektika antara individu dengan masyarakatnya.
Penelitian
secara historis juga menunjukkan adanya fluktuasi apresiatif terhadap
eksistensi pengarang sebagai subjek kreator. Dalam struktur sosial, pengarang
tidak lagi dianggap sebagai figur sentral, dengan kalimat lain, fungsi
kreativitas seni disamakan dengan keterampilan lain dalam mekanisme pembagian
kerja dan produksi-produksi material. Karya seni pada gilirannya dianggap
sebagai pengalihan waktu luang, hiburan, pelarian, dan pelukisan naturalistik
sosial, yarig sama sekali tidak mengandung tantangan fundamental terhadap
perkembangan sosial.
a)
Kekeliruan-kekeliruan
Biografi Sebagai Genesis Karya Sastra
Bagi
masyarakat pada umumnya, pengarang dianggap sebagai individu yang memiliki sejumlah
keistimewaan, terutama dari segi kualitas psikologisnya. Apresiasi moral
terhadap personalitas pengarang juga diakibatkan dengan adanya kenyataan bahwa
dalam struktur sosial ekonomis pada umumnya pengarang termasuk dalam kategori
kelas menengah ke atas. Sebaliknya, analisis sosiologis justru memandang proses
kreatif sebagai pernyataan-pernyataan sosial.
Subjek
pengarang dalam merekonstruksikan tokoh-tokoh dan peristiwa sesungguhnya
didasarkan atas definisi hubungan-hubungan sosial, sebagai pernyataan bahwa
semesta tokoh dan peristiwa yang diceritakan merupakan dunia yang mesti
dipahami bersama-sama dengan orang lain.
Dalam
sejarah sastra, studi biografis sudah sangat sering dibicarakan. Boris
Tomasevskij (1987: 116-117) memandang studi biografis sebagai genre yang sudah
kuno, dan sesungguhnya merupakan bagian penulisan sejarah, sebagai
historiografi. Fungsi-fungsi utama karya sastra, terutama dalam pengertiah
studi sastra kontemporer adalah menyediakan pemahaman bagi pembaca sastra,
bukan bagi sejarawan. Dikaitkan dengan penjelasan Berger dan
Luckmann (1973: 85-86), biografi sebagai pendekatan dokumenter dan alegoris
berasal dari sedimentasi berbagai pengalaman individu, pengalaman-pengalaman
yang tersimpan di dalam kesadaran, yang pada saat-saat tertentu muncul kembali
dalam ingatan. Tanpa sedimentasi pengalaman masa lalu, biografi tidak pernah
dipahami.
Konteks
sosial pengarang mempengaruhi sistem pengetahuannya, dan dengan sendirinya
proses kreativitasnya. Di pihak lain, pengalaman-pengalaman pengarang sebagai
individu jelas sangat singkat, baik secara sosiopsikologis maupun
sosiobiologis. Biografi sebagai pernyataan-pernyataan
data mentah, sebagai manifestasi fisikal struktur personalitas merupakan aspek
yang inheren, artinya, selalu menampakkan diri dalam proses pemahaman karya.
Dalam kerangka mekanisme produksi
sastra, biografi dan personalitas pengarang, termasuk ciri-ciri autorial yang
lain, mesti dipertimbangkan sebagai cadangan-cadangan pengetahuan sosial.
Artinya, implikasi biografi literer, bukan biografi yang disusun oleh peneliti,
mesti dipertimbangkan dalam kerangka relevansi sosialnya.
b)
Intensi
Autorial dan Kematian Pengarang dalam Proses Produksi
Produksi
sastra menurut analisis sosiologis dengan sendirinya menganggap imajinasi dan kreativitas,
pikiran dan kehendak, emosi dan asumsi, dan berbagai sarana psikologis sebagai
unsur-unsur yang telah dihuni oleh masalah- masalah sosial. Karya sastra
terdiri atas narasi dan intensi autorial. Artinya menurut akal sehat, struktur
narativitas merupakan rangkaian kalimat sebagai wahana dan pesan pengarang
kepada pembaca. Dalam hubungan ini, intensi-intensi penulis, disadari atau
tidak, dipahami melalui referensi eksistensi penulis secara aktual, yang pada
umumnya dikaitkan dengan unsur-unsur biografinya.
Otoritas
intensi autorial, menonjol dalam mode-mode penelitian yang memberikan
aksentuasi ciri-ciri ekspresif. Ciri-ciri ekspresif pada umumnya juga
mempertahankan mekanisme dialog langsung, dialog linear, dialog-dialog tanpa
mediasi, yaitu antara pengarang sebagai subjek kreator dengan peneliti.
Satu-satunya manfaat penelitian ekspresif adalah orisinalitas proses kreatif
sebagai manifestasi struktur psikologis.
Dihubungkan dengan proposisi Ricoeur
(1982: 146), kematian pengarang dengan sendirinya mengubah hubungan-hubungan
langsung, hubungan linear antara subjek kreator dengan pembacanya. Dengan
kematian subjek kreator, maka karya menjadi pusat perhatian, yang sekaligus
berfungsi sebagai tindak menulis dan membaca. Representasi anonimitas subjek dengan
sendirinya juga mendapatkan perhatian penting dalam struktur dialogis Bakhtin
(Morson,1986:128). Artinya, pengertian yang berkaitan dengan kematian subjek justru berfungsi untuk
menopang intensitas pemahaman, sehingga mekanisme dialogis lebih dirasakan
adanya. Diedrick (1993: 609) lebih jauh menjelaskan bahwa intensi-intensi tokoh
bukanlah suara-suara autorial tunggal subjek pengarang.
Kematian
subjek kreator, kekeliruan biografi, dan intensi-intensi autorial dengan
berbagai problematikanya sudah terkandung dalam analisis strukturalisme, yaitu
dengan memusnahkan ucapan-ucapan individual (parole), totalitas teks terletak
dalam strukturnya, bahasa dilepaskan dari kaitan sosial budayanya.
Dalam diri setiap seniman terkandung dua
unsur yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu: pemikiran konseptual dan
kreasi seni, ketaksadaran kolektif dan kesadaran personal. Makna karya seni
dengan demikian bukanlah semata-mata merupakan masalah intensi, melainkan juga
masalah konvensi. Para seniman mesti memberikan perhatian yang mendalam
terhadap kedua unsur, menampilkan dalam posisi yang seimbang, dalam totalitas
karya.
2.
Hakikat dan
Totalitas Karya sebagai Manifestasi Struktur Sosial
Penolakan terhadap produksi karya sastra
sebagai semata-mata manifestasi subjek kreator secara individual menimbulkan
implikasi teoretis, yaitu produksi karya sastra dengan relevansi subjek
kolektif.
Hakikat karya sastra sebagai rekaan pada
umumnya dianggap sebagai masalah utama dalam ilmu sastra, sekaligus sebagai
masalah yang paling banyak dihindarkan dalam analisis ilmu-ilmu sosial.
Alasannya, jelas karena rekaan dianggap sebagai khayalan belaka, sebagai gejala
psikologis dengan skala kredibilitas yang rendah, dan karena itu mesti
dikeluarkan dalam setiap evidensi empiris. Kecurigaan-kecurigaan terhadap
hakikat rekaan seperti di atas dapat ditelusuri melalui beberapa faktor, antara
lain:
1)
ketidakjelasan definisi antara khayalan
dengan rekaan,
2)
adanya anggapan mengenai ciri-ciri karya
sastra sebagai semata-mata rekaan, dan
3)
adanya intensitas unsur-unsur
objektivitas dalam ilmu-ilmu empiris.
a.
Heterogenitas
Struktur Sosial dan Konsekvensi Transformasi Struktur Epik ke Novelistik
Ciri-ciri ekspresif, polarisasi, bahkan
ciri-ciri diametric gejala-gejala sosial, pada dasarnya mengarahkan pada konstruksi
baru, yaitu proliferasi gejala-gejala sosial dalam struktur sosial. Merupakan
suatu usaha yang mustahil untuk meneliti gejala-gejala sosial secara
keseluruhan, sebaliknya, juga tidak mungkin untuk mengamati suatu gejala secara
tersendiri. Aksi sosial dalam struktur sosial adalah gejala yang dinamis,
berada dalam proses secara terus-menerus. Karena itulah, secara pragmatis, para
sosiolog pada umumnya membedakan gejala-gejala sosial menjadi tiga macam,
yaitu: fakta sosial, definisi sosial, dan tingkah laku sosial (bdk. Ritzer,
1980: 24). Secara sosiologis, sebagai aktivitas kesadaran, kreativitas selalu
ditujukan kepada orang lain, selalu intensional. Fungsi-fungsi keterlibatan
orang lain di dalam proses interaksi, dalam interaksi operatif, di satu pihak
menyediakan energi, motivasi, dan prasyarat dasar terciptanya makna, yang
disebut makna-makna kehidupan sosial. Di pihak yang lain, keterlibatan orang
lain berfungsi untuk menopang partisipasi sosial, sekaligus menopang keseimbangan
struktur sosialnya. Pada dasarnya, aktivitas kreatif, baik dalam bentuk proses
pengamatan dan penciptaan yang dilakukan oleh subjek kreator, maupun proses
resepsi yang dilakukan oleh pembaca, secara keseluruhan ditujukan kepada orang
lain.
Ciri-ciri ekspresif dan kreatif jelas
merupakan milik manusia secara universal, artinya, terjadi di mana saja, dengan
tanpa membeda-bedakan ras, agama, pendidikan, dan kelas-kelas sosial. Sebagai
fakta sosial, ciri-ciriekspresif dan kreatif juga dianggap memiliki persamaan
dalam hubungannya dengan gejala-gejala sosial yang lain. Nilai-nilai estetis
yang terkandung dalam karya seni tergantung pada hubungan-hubungan sosial yang
terjadi. Nilai-nilai estetis seni bukanlah nilai-nilai yang sudah pasti dan
berlaku umum, tetapi ditentukan melalui pemahaman masyarakat, dan dengan
demikian maka sifatnya relatif (Al-brecht, 1970: 15-20). Kekayaan dan keragaman
fakta-fakta kultural jelas bersifat supraindividual, sebagai milik bersama.
b.
Karya Sastra
sebagai Model Karya Seni yang Lain
Imajinasi dan kreativitas, merupakan
ciri-ciri utama karya seni. Karya seni yang tidak menampilkan imajinasi dan
kreativitas dianggap bermutu rendah, sebab karya seni tersebut tidak berbeda
dengan pengalaman sehari-hari, ilmu pengetahuan, atau karya-karya ilmiah yang lain.
Imajinasi dan kreativitas juga dipandang sebagai energy dan motivator dalam
produksi karya seni, sebab perkembangan karya seni lebih didasarkan atas
kualitas imajinasi dan kreativitas, bukan penemuan-penemuan sejenis yang telah
mendahuluinya.
Sebagai respons interaksi sosial, karya
sastra jelas membagi dunia yang sama dengan karya seni yang lain. Seni lukis
misalnya, dengan media cat menampilkan komposisi warna, garis, dan cahaya, yang
secara bersama-sama akan merepresentasikan pandangan dunia kelompoknya, sesuai
dengan citra bahasa lukisan tersebut. Produksi seni lukis mengandaikan ekspresi
kelompok tertentu, yang memiliki ekuivalensi dengan kualitas sebuah novel,
sebuah lagu keroncong, atau sebuah tarian. Karya sastra, meskipun tidak
memiliki media warna, garis, dan cahaya, seperti yang terkandung dalam seni
lukis, tetapi memiliki media yang lain, yaitu bahasa. Melalui kata-kata, bahasa
dapat melukiskan warna, garis, dan cahaya, bahasa juga dapat melukiskan suara
musik yang tidak dapat dilihat, bahkan dapat melukiskan gejala-gejala yang
semata-mata terjadi dalam pikiran dan perasaan. Kapasitas bahasa mengatasi
ruang dan waktu, bahasa menembus batas-batas antarras dan antarbangsa, bahasa
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar