BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Novel Sons and
Lovers karya D.H. Lawrence berkisah tentang sebuah keluarga Mr. Morel, seorang
pekerja tambang yang beristri seorang wanita dengan berstatus sosial yang lebih
tinggi dari suaminya. Keluarga ini di karuniai beberapa anak yang di antaranya
adalah William dan Paul. Karena kondisi ekonomi rumah tangga yang tidak
mencukupi membuat suami dan istri kerap bertengkar. Hubungan pasangan ini
menjadi tidak harmonis, walaupun sang istri terus melahirkan anak. Akibat hubungan
tidak harmonis tersebut membuat si istri, Mrs. Morel mendekatkan diri kepada
anak laki-lakinya, William dan Paul. Kedekatan yang tampak tidak lazim ini
membuat kedua anak ini selalu bermasalah ketika mereka harus berhubungan dengan
gadis sebayanya. Selain itu Mrs. Morel selalu menghalangi hubungan anak
laki-lakinya dengan kekasih mereka.
Tahap awal
penelitian ini adalah telaah perwatakan para tokoh yang mendukung pemunculan
Oedipus Complex dalam diri-diri tokoh William dan Paul Morel dan tahap selanjutnya
adalah adanya cerminan konsep rasa bersalah serta konflik batin. Untuk
menganalisis karakter para tokoh dalam novel ini, digunakan metode sudut
pandang.
Sudut pandang
adalah metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dimana ceritera
disampaikan. Sudut pandang persona ketiga –
“diaan” digunakan dalam pengisahan ceritera dengan gaya “dia”. Narrator
atau penceritera adalah seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh ceritera dengan
menyebut nama atau menggunakan kata ganti orang seperti “ia”, “dia” atau
“mereka” (Minderop, 2005:96).
Sudut pandang
“diaan” mahatahu adalah narrator yang berada di luar ceritera dan bisa pula
menjadi tokoh dalam ceritera. Disebut “mahatahu” (an all-knowing presence) karena ia dapat berkisah dengan bebas,
mendramatisasi, menginterpretasi, merangkum, berspekulasi, berfilosofi, menilai
secara moral atau menghakimi apa yang disampaikannya. Sudut pandang persona
ketiga atau penggunaan “diaan” tidak selalu menggunakan kata ganti orang
ketiga, tetapi dimungkinkan terjadinya dialog-adanya “kau” dan “aku”. Hal ini
terjadi karena si Narator sedang membiarkan para tokoh mengekspresikan dirinya
(Minderop, 2005:98).
B.
Masalah
1.
Bagaimana konsep Oedipus Complex dalam novel Sons and Lovers?
2.
Apa penyebab timbulnya Oedipus Complex dalam
novel Sons and Lovers?
3.
Apa akibat dari Oedipus Complex dalam novel Sons and Lovers?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Konsep Oedipus Complex
Cerminan konsep
Oedipus Complex yang dibahas di sini mencakup para tokoh William dan Paul Morel
yang terdapat dalam novel Sons and Lovers karya D.H. Lawrence. Konsep ini
mengacu pada tokoh William dan Paul sebagai “kekasih” GertrudecMorel, sang Ibu:
a.
Hubungan mesra Ibu dan Anak Mendambakan Peran
Ayah
William
menjelaskan bahwa kepergiannya berdansa dengan teman perempuan sekedar bersenang-senang
dan ia tidak mencintai temannya itu. William mengatakan bahwa ia tidak akan
pernah menikah, kecuali bila ia menemukan perempuan seperti Ibunya.
Ibu
dan anak berjalan-jalan dan merasakan kebahagiaan seakan-akan sepasang kekasih
yang menikmati perjalanan bersama.
Setelah
Paul berdebat dengan Ibunya dan Mrs. Morel merasa tersinggung, Paul merasa
tegang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidupnya hanya untuk Ibunya, Mrs.
Morel adalah segala-galanya.
Dalam
kondisi bersedih, Paul beranjak menuju ke kamar tidurnya sambil menunduk mencium Ibunya, sang Ibu memeluk
lehernya, memendamkan wajahnya di bahu Paul seraya menangis dengan suara
tersedan ia berkata bahwa ia tidak rela melepaskan anaknya kepada Mirriam
karena ia akan tersisih. Paul serta-merta sangat
membenci Mirriam.
Dalam
novel Sons and Lovers, perilaku yang
mencerminkan keinginan memiliki Ibu tampak dalam perwatakan tokoh William Morel
dan Paul Morel.
William
memberikan semua uangnya kepada
Ibunya, kemudian Mrs. Morel membagi uang tersebut sebagian kepada anaknya.
Kedekatan Paul dengan Ibunya
menggantikan posisi Kakaknya, William, yang telah meninggal dunia. Ia bersikap
sangat baik dengan memberikan berbagai hadiah kepada Ibunya dan berjanji tidak akan menikah.
Kepergian
William ke London digantikan oleh keberadaan Paul, adik William yang juga sangat
dekat dengan Ibunya.
Keinginan
Paul menafkahi Ibunya dan berjanji tidak
akan menikah.
Paul
meniti karir sebagai pelukis dan apa
yang dilakukannya, demi sang Ibu dan keduanya saling mengisi.
Paul senag tidur bersama Ibunya karna merasa nyaman dan terlindungi oleh
kehangatan Ibunya.
Paul
berjalan-jalan bersama Ibunya, saat ketika ia merasa seakan-akan bersama kekasih. Ia terus memperhatikan sikap ibunya
yang senantiasa menumbuhkan perasaan teramat sayang kepada Ibunya. Di balik
itu, ia merasa pedih di hati karena
kecintaannya kepada si Ibu ketika ia memperhatikan dompet dan kaos tangan
Ibunya yang telah usang.
Paul
merasa bosan. Cintanya yang paling
mendalam tertuju kepada Ibunya dan bila ia telah merasa menyakiti perasaan
Ibunya, ia merasa sangat terbebani.
Paul
selalu harus kembali kepada Ibunya karena ia merasa sangat melekat padanya.
Ketika
Ibunya mengatakan bahwa ia serasa tidak pernah memiliki suami, Paul mencium leher Ibunya. Paul berkata
bahwa ia tidak mencintai Mirriam. Paul memeluk Ibunya kemudian si Ibu dengan mesra menciumnya. Mereka tampak sebagai
sepasang kekasih.
Mrs.
Morel mengidap penyakit kanker. Paul dan Ibunya sama-sama merasa kuatir karena
mereka berprasangka bahwa tidak lama lagi mereka akan berpisah. Saat-saat
terakhir mereka lalui bersama. Paul selalu mendampingi dan merawat Ibunya;
mereka seakan-akan sepasang kekasih.
Paul
merawat Ibunya ketika ia sakit dan Paul sangat
menyayangi si Ibu melebihi sayangnya terhadap diri sendiri.
Mrs.
Morel yang mengidap penyakit kanker tak tertolong dan akhirnya meninggal dunia.
Paul merasa sangat terpukul,
seakan-akan tidak menerima kepergian Ibu untuk selama-lamanya. Ia menatap wajah
sang Mrs. Morel dan mencium jasad si Ibu yang terbujur dingin.
b.
Kecemburuan kepada Ayah dan Saudara Laki-laki
Baik
William dan Paul kerap merasa saling
cemburu karena mereka berebut kasih sayang sang Ibu.
Ketika
Paul dan Ibu berjalan-jalan ke Lincoln, Paul sangat erat menjaga Ibunya, seakan-akan
mengikatnya. Ia juga membelikan
violet untuk Ibunya dan menyematkan bunga di bajunya.
c.
Hukuman dari Ayah
Dalam
novel Sons and Lovers para tokoh anak laki-laki mendapat hukuman dari Ayah.
Si
Ayah bersikap kasar sehingga membuat
kepala anaknya berdarah.
Karena
sikap sang Ayah yang terlalu kasar
terhadap anak-anaknya, membuat mereka merasa tertekan bila si Ayah berada di
rumah, mereka bingung tak tahu apa yang harus dilakukan.
Anak-anak
menjadi terdiam bila mendengar suara
tapak kaki tanda kedatangan Ayahnya karena mereka ketakutan terhadap Ayah.
Mr.
Morel selalu tidak sabar bila
mendengar anaknya menangis dan seraya berteriak
mengancam si anak.
Mr.
Morel kerap bersikap keras kepada
anaknya dan selalu mengulangi perbuatannya sehingga membuat si anak menderita, walaupun diperingatkan oleh
istrinya.
d.
Tidak Menyukai dan Membenci Figur Ayah
Anak-anak
tidak menyukai ayah mereka, terutama
Paul.
Paul
membenci Ayahnya dan kerap berdoa
agar Ayahnya meninggal dunia.
Dapat
dikatakan tidak pernah ada komunikasi antar anggota keluarga dengan sang Ayah.
Si Ayah seolah-olah seperti orang asing
di dalam keluarga.
2.
Latar
Belakang Lahirnya Oedipus Complex
Memerhatikan
perilaku para tokoh dalam novel Sons and
Lovers, dapat disimak bahwa latar belakang maraknya Oedipus Complex bisa
dipengaruhi oleh kondisi kehidupan keluarga Mr. Morel. Hubungan suami istri
yang tidak harmonis yang disebabkan antara lain, masalah kesenjangan pendidikan
antara suami dan istri serta masalah ekonomi cukup berpengaruh untuk timbulnya
berbagai konflik di dalam rumah tangga.
Akibat
dari konflik antara suami dan istri memengaruhi perilaku anak terhadap orang
tua mereka. Dalam hal ini lebih mendekatkan diri kepada Ibunya, dan sebaliknya,
seraya anak-anak membenci Ayahnya. Kebencian ini timbul karena kerasnya sikap
sang Ayah terhadap anak laki-lakinya. Pada akhirnya, si Ibu mendekatkan diri
kepada anak-anak laki-lakinya; sedangkan si Ayah hidup di dalam dunianya
sendiri. Penjelasan mengenai latar belakang timbulnya Oedipus Complex
sebagaimana berikut ini.
a.
Kehidupan Mr. dan Mrs. Morel Diwarnai Konflik
Mr. dan Mrs. Morel mulai merasa tidak
nyaman mengarungi rumah tangga mereka.
Sikap Mrs. Morel berubah menjadi tidak hangat terhadap suaminya.
Ketika istrinya sakit sehabis
melahirkan, Mr. Morel bersikap manis terhadap istrinya, namun si istri merasa kesepian.
Akhirnya Mrs. Morel mengabaikan suaminya, demikian pula sang suami.
Mr. dan Mrs. Morel mulai bertengkar karena adanya perbedaan
pandangan hidup.
Suami dan istri ini bertengkar hebat dan sang istri merasa teramat sedih dan
menyembunyikan wajahnya di bahu si bayi, William sambil meratap seakan-akan
berlindung. Dialog yang tercantum di bawah ini merupakan cakupan dari teknik
pencitraan “diaan” mahatahu, ketika si narrator membiarkan para tokoh
mengekspresikan diri mereka.
Mrs. Morel stood still. It was her
first baby. She went very white, and was unable to speak.
“What dost think on “im?” Morel
laughed uneasily.
She gripped her two fists, lifted
them, and came forward. Morel shrank back.
“I could kill you, I could!” she said.
She choked with rage, her two fists uplifted.
“Yer non want ter make a wench on
“im,” Morel said, in a frightened tone, bending his head to shield his eyes
from hers. His attempt at laughter had vanished.
The mother looked down the jagged,
close clipped head of her child. She put her hands on his hair, and stroked and
fondled his head.
“Oh – my boy! –“ she faltered. Her lip
trembled, her face broke, and, snatching up the child, she buried her face in
his shouder and cried painfully (Lawrence, 2000:24).
Masalah biaya hidup memperparah kondisi rumah tangga Mr. dan Mrs. Morel, si
suami tidak memperhatikan kebutuhan anak-anak, lebih dari itu, ia menghabiskan
uang untuk membeli minuman keras selain untuk kebutuhan pribadi.
Mr. Morel merasa tidak nyaman dan jenuh tinggal bersama istrinya; demikian pula
istrinya.
b.
Mrs. Morel Sangat Menyayangi Putera-Puteranya
Mrs.
Morel sangat menyayangi William dan
menganggapnya sebagai seorang pria dewasa yang mampu memberikan kebahagiaan
pada dirinya.
Sikap
Mrs. Morel yang sangat menyayangi
William, menggantungkan kehidupannya padanya, melayani kebutuhannya, membuat si
anak pun merasa bangga. Kondisi ini membuatnya sulit berpisah dengan anaknya.
Mrs Morel selalu mengenangnya sehingga membuatnya amat bersedih.
c.
Mrs. Morel Mengekang Pergaulan Putera-Puteranya
Mrs. Morel tidak berkenan membiarkan
William bergaul dengan teman perempuannya, terlebih lagi ketika ia mengetahui
perempuan tersebut pernah berdansa dengan anaknya.
Mrs.
Morel merasa benci kepada Mirriam
karena ia membuat Paul menjadi tidak ceria.
Mrs.
Morel merasa tidak senang mengetahui
kedekatan Paul dengan Mirriam, ia tampak
cemburu walaupun Paul menegaskan bahwa ia tidak mencintai Mirriam.
Sikap
Mrs. Morel yang tidak menerima pergaulan
Paul dengan gadis lain, memicu perdebatan dengan anaknya, sehingga membuat
Mrs. Morel bersedih. Mrs. Morel merajuk
dan cemburu ketika Paul mengatakan ia sudah lanjut usia dan berbeda
kesenangan.
Mrs. Morel sangat membenci Mirriam yang
berupaya merebut hati anaknya.
3.
Akibat
dari Oedipus Complex
Akibat
dari Oedipus Complex yang diidap oleh tokoh Paul, membuatnya selalu dihantui
rasa bersalah. Paul merasa telah mengkhianati Ibunya karena ia pernah bergaul
dengan perempuan lain. Setelah kepergian sang Ibu untuk selama-lamanya, Paul
merasa kesepian, kesedihan, dan putus asa sampai-sampai ia berniat untuk
mengakhiri hidup. Perasaan bersalah yang paling mengganggu membuatnya menghukum
diri sendiri yang berimplikasi berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian.
Paul
mengalami halusinasi negatif. Ia tidak mengenal ruang dan waktu, ia menjadi
bingung dan pelupa; kadang-kadang ia hilang ingatan serta tidak mampu
membedakan sesuatu. Ia juga mengalami halusinasi pendengaran dan konflik batin.
Paul
mengalami halusinasi pendengaran, sebagaimana dikatakan oleh Krech: Ia tidak
mengenal sesuatu pun, walaupun ia melihat. Ia mengalami kesulitan tidur dan
dihantui oleh perasaan dan pendengarannya sendiri; ia tidak tahu di mana ia
berada, Paul mengalami disorientasi.
a.
Cerminan Rasa Bersalah
Perasaan
bersalah dalam diri tokoh Paul Morel. Setelah terhalang bergaul dengan Mirriam,
Paul selanjutnya bergaul dengan Clara, seorang wanita yang telah bersuami dan
berusia lebih tua ketimbang dirinya. Mereka bahkan bergaul sangat intim
(Lawrence, 2000:385-390). Paul sangat menyembunyikan kehidupan seksnya dengan
wanita ini di hadapan Ibunya. Dikatakannya, ia lebih baik mati daripada Ibunya
harus mengetahui hubungan seksnya dengan Clara. Paul mengalami rasa bersalah
karena di satu sisi ia melakukan hubungan intim dengan wanita lain, namun di
sisi lain ia selalu merasa bersalah terhadap Ibunya. Kadang-kala ia ingin
melepaskan diri dari baying-bayang ibunya, namun sngat sulit, ia mengalami
konflik batin.
Paul
sulit bergaul akrab dengan teman wanitanya, Mirriam, karena ia selalu dibayangi
sosok Ibunya bila ia berniat untuk lebih intim dengan Mirriam. Paul seakan-akan merasa bersalah bila ia
membiarkan hatinya tertambat pada wanita lain.
b.
Menghukum Diri Sendiri
Oedipus
Complex dalam novel Sons and Lovers
melahirkan sikap menghukum diri sendiri, terutama seperti yang dialami tokoh
Paul. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, konsep menghukum diri sendiri karena
adanya rasa bersalah yang paling mengganggu-sebagaimana terdapat dalam sikap
menghukum diri sendiri-si individu terlihat sebagai sumber dari sikap bersalah.
Rasa bersalah jenis ini mempunyai implikasi terhadap berkembangnya
gangguan-ganggua kepribadian yang terkait dengan kepribadian, penyakit mental
dan psikoterapi (Krench, 1974:476-477).
Perasaan
bersalah yang paling mengganggu sebagaimana terdapat dalam sikap menghukum diri
sendiri-adalah ketika si individu merasa sebagai sumber sikap bersalah. Rasa
bersalah jenis ini mempunyai implikasi terhadap berkembangnya gangguan-ganggua
kepribadian yang terkait dengan kepribadian, penyakit mental dan psikoterapi.
c.
Kepribadian dan Perasaan Tak Berdaya
Setelah
kepergian sang Ibu untuk selama-lamanya, Paul merasakan kesepian dan kesedihan luar biasa. Selama ini Paul
selalu mendapat dukungan dari Ibunya dan selamanya hidup ia selalu menyayangi
si Ibu. Paul merasa putus asa dan
ingin mengakhiri hidup, ia ingin ada seseorang yang secara suka rela
menolongnya.
d.
Ganngguan Kepribadian
Halusinasi
negatif atau negative hallucination, where a subject does not see an object
that is actually and unmistakably there (Krech, et al., 1974:510). Ia mengalami halusinasi sebagaimana konsep ini:
He
may often be subject to hallucinations in which he hears voices or sees vision,
or he may suffer distorsions of normal perceptual experience. He may exhibit
bizarre behavior, confused thought and chaotic speech (Krech et al., 1974:601).
Ia
juga dibayangi oleh naluri kematian seperti yang terdapat dalam konsep berikut
ini: keinginan untuk mati (death wish) bisa ditimbulkan oleh misalnya,
kebebasan yang terhalang dan keinginan untuk lepas dari beban. Si individu
tidak setuju dengan keinginan tersebut karena adanya hakikat kehidupan. Ia
mengalami pertentangan antara keinginan untuk bebas dari beban dan kekuatiran
akan keinginan tersebut karena dapat mengancam dirinya (Hilgard et al.,
1975:499)
Paul
merasa malu atas keberadaannya. Ia merasa hampa, tak berharga dan selalu dibayangi rasa kematian.
Paul
mengalami halusinasi negatif. Ia tidak
mengenal ruang dan waktu, ia menjadi bingung
dan pelupa; kadang-kadang ia hilang
ingatan serta tidak mampu membedakan sesuatu.
Paul
mengalami halusinasi pendengaran sebagaimana dikatakan oleh Krech: Ia tidak
mengenal sesuatu pun, walaupun ia melihat. Ia mengalami kesulitan tidur dan dihantui
oleh perasaan dan pendengarannya sendiri; ia tidak tahu di mana ia berada,
Paul mengalami disorientasi.
Paul
mengalami halusinasi pendengaran, ia
banyak bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya, kerap berbicara sendiri dan mengalami
naluri kematian.
“What
am I doing?”
And
out the semi-intoxicated trance came the answer.
“Distroying
myself”.
Then
a dull, live feeling, gone in as instant, told him that it was wrong. After a
while, suddently, came the question:
“Why
wrong?”
Again
there was no answer, but a stroke of hot stubbornness inside his chest resisted
own annihilation.
…Then,
quite mechanically and more distinctly, the conversation began again inside
him.
“She’s
dead-what was it all for-her strunggle-?”
That
was his despair wanting to after her.
“You’re
alive.”
“She’s
not.”
“She
is-in you.”
Suddently
he felt tired with the burden of it (Lawrence, 2000:456).
Selain
tubuhnya bertambah kurus dan penampilannya yang lusuh membuatnya tak berani
menatap cermin. Naluri kematian yang
dialami Paul bertambah tajam.
e.
Konflik Batin
Paul
mengalami konflik batin dalam menjalani kehidupan selanjutnya, pertarungan antara naluri kematian dan
kehidupan. Ia mencoba untuk tegar dan tidak larut dalam kesedihan serta
berupaya melupakan Ibunya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis terhadap novel Sons and
Lovers karya Lawrence D.H., termasuk penjelasan tentang sebab dan akibat
timbulnya Oedipus Complex, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Konsep Oedipus Complex dalam novel Sons and Lovers mengacu pada tokoh
William dan Paul sebagai “kekasih” Gertrude Morel”, sang Ibu.
2.
Penyebab dari timbulnya Oedipus Complex dalam novel Sons and Lovers adalah diawali
dengan hubungan yang tidak harmonis dalam rumah tangga Mr. dan Mrs. Morel.
Ketidakharmonisan tersebut lebih banyak disebabkan oleh masalah ekonomi dan
kebiasaan si suami yang gemar mengkonsumsi minuman keras yang membuat si istri
merasa jengkel kepada suaminya. Kondisi ini membuat si Ibu mengalihkan rasa
cinta kepada kedua anak laki-lakinya.
3.
Akibat dari Oedipus Complex dalam novel Sons and Lovers, tokoh Paul selalu
dihantui rasa bersalah, mengalami halusinasi negatif, mengalami halusinasi pendengaran,
melahirkan sikap menghukum diri sendiri, merasakan kesepian dan kesedihan luar
biasa, dan mengalami konflik batin.
B.
Saran
Untuk menghindari
terjadinya Oedipus Complex dengan masalah seperti pada novel Sons and Lovers, sebaiknya seorang Ibu
menghindari hal-hal sebagai berikut:
1.
Pengalihan rasa cinta yang berlebihan terhadap
anak laki-lakinya. Karena masalah rumah tangga seperti pada novel Sons and Lovers tersebut dapat diatasi
dengan musyawarah, dan jika seorang Ayah tidak lagi dapat dirubah sikapnya,
ambil tindakan untuk mengakhiri hubungan denga perceraian secara baik-baik agar
tidak berpengaruh buruk pula bagi anak.
2.
Jangan terlalu mengekang anak laki-laki untuk
bergaul dengan teman perempuannya sejak usia dini. Hal ini dapat mengakibatkan
seorang anak akan terpatri rasa takut, dan perasaan bersalah saat melakukan hal
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar