Tertangkap
Karena Razia
Cerpen:
I’anatul Insianah
Tidak
seperti biasanya, kali ini Candra bangun lebih awal tanpa dibangunkan oleh
siapa pun. Selesai mandi dan menggunakan
seragam sekolah ia segera bergegas pergi tanpa berpamitan dengan Papanya yang
sudah menunggu di meja makan bersama Mama tirinya.
“Candra! Sarapan dulu!” Ajak Papanya saat Candra melewati
meja makan dengan tergesa-gesa. Namun, Candra tidak menghiraukannya.
“Candra!” Panggilnya lagi dengan nada agak meninggi.
“Sudahlah, Pa, mungkin dia buru-buru…” Mama tirinya
mencoba meredam emosi suaminya.
“Anak itu semakin dibiarkan semakin keterlaluan!” Gerutunya
lagi.
Candra adalah anak semata wayang Pak
Brahma. Ia sangat tidak menyukai Mama tirinya. Karena baginya Almarhumah
Mamanya tidak akan pernah tergantikan. Demikian dengan Papanya pun semakin lama
semakin menjauh semenjak Papanya menikahi wanita yang pernah bekerja menjadi
penyanyi kafe yang kini adalah Mama tirinya itu.
Pak
Brahma lebih banyak memberikan kasih sayang kepada anaknya berupa materi, bukan
kasih sayang yang berupa perhatian. Dahulu saat almarhumah Mamanya masih hidup,
Candra masih ada yang membimbing karena Mamanya adalah sosok ibu yang perhatian
dan penyanyang. Namun, saat ini Mamanya telah tiada, Papanya kurang memperhatikannya
dan sibuk dengan urusan kantornya. Sebenarnya, Mama tirinya juga ingin memberi
perhatian kepada Candra, namun mau bagaimana lagi, Candra sudah terlanjur tidak
menyukainya, dan ia pun dipekerjakan sebagai sekretaris di perusahaan Papanya,
sehingga tidak ada waktu untuk di rumah. Dirumah hanya ada pembantu dan tukang
kebun saja. Hal ini yang membuat Candra
tidak terperhatikan sekolah dan pergaulannya.
Ternyata pagi ini Candra
terburu-buru bukan untuk langsung pergi ke sekolah, tetapi menemui teman-teman
nongkrongnya di sebuah perbukitan yang jauh dari keramaian.
“Mana barangnya?” Candra menanyakan sesuatu kepada Beno.
“Sabar, bro!
Tenang aja, udah gua siapin tiga bungkus buat lo!”
“Harganya lebih tinggi ya, bro! Soalnya ini barang agak jauh ngedapatinnya!” Ujar Tora.
“Iya iya, lo
kaya sama siapa aja, gua pasti bayar berapa pun harganya!
Sekarang mana barangnya?” Desak Candra tidak sabar menunggu barang yang ia
inginkan.
“Ambil, Jon!” Beno memerintah Joni untuk mengambil
barangnya di mobil.
Sambil menunggu temannya mengambil barang yang
diinginkan, Candra menyulut sebatang rokok.
“Lo mau ke
sekolah, bro?” Tanya Ray kepada
Candra.
“Ya iya, lha… seperti yang lo lihat, gua pakai
seragam sekolah, kan!”
“Iya, sih… tapi
gua heran aja, lo kok berani banget bawa-bawa barang gituan ke sekolah?”
“Jiaaah… lo
kaya baru kenal gua sehari aja! Seorang Candra enggak pernah takut sama siapapun, kecuali Tuhan dan Mama kandung gua! Dan selama ini gua masih aman-aman aja,
kan!” Mendengar Candra berkata seperti itu mengundang gelak tawa keempat
temannya.
“Kok lo pada
ketawa, sih? Apanya yang lucu?” Tanya
Candra keheranan.
“Lucu aja, bro,
takut sama Tuhan tapi lo masih ngejalanin yang kaya begini, seandainya nyokap lo tahu apa yang lo lakukan saat ini, apa lo akan menghindari kenyataan? Ya… gua sebagai teman cuma menyarankan agar lo berhati-hati. Seperti pepatah lama, bro, sepandai-pandai tupai melompat,
pasti akan jatuh juga!” Ujar Joni sambil menyerahkan barang yang sejak tadi
ditunggu oleh Candra.
“Itu juga berlaku buat kalian semua!” Sambung Candra
terhadap kata-kata Joni.
“Ya… itu berlaku untuk kita semua, tapi yang paling utama
itu lo, bro! Lo masih sekolah, lo harus waspada karena lambat laun
pasti ketahuan! Sayang aja sekolah lo, bro!
Lo masih diberi Tuhan otak yang
cerdas, ortu lo juga enggak kekurangan. Kalau gua jadi lo gua enggak mau ngelakuin hal yang seburuk ini!” Ujar
Joni.
“Tapi lo enggak tahu gimana rasanya ditinggalkan
seorang Ibu yang lo sayangi yang
selalu memberi perhatian dan kasih sayang, dan harus digantikan oleh wanita
lain dalam waktu yang tidak lama, dan hidup gua
spontan berubah, enggak terurus, enggak ada kasih sayang yang tulus dari bokap gua! Gua Cuma disuapi dengan materinya yang berlimpah ruah, tapi gua haus perhatian! Hidup gua sama aja dengan anak terlantar!”
“Sabar, bro… Masalah jangan terlalu diambil pusing, bro! Dibawa have fun aja!” Beno
mencoba menghibur sembari merangkul Candra.
Waktu telah menunjukkan pukul 06.50. Candra segera pergi
meninggalkan keempat temannya untuk menuju ke sekolah.
Lima menit sebelum masuk
Candra sudah sampai di sekolah. Dengan langkahnya yang cepat dan sedikit
mengejar waktu, tiba-tiba ia menabrak Anita, teman sekelasnya, saat memasuki ruang
kelas.
“Kalau jalan lihat-lihat, dong! Main tabrak aja!”
Bentak Candra karena tidak mau disalahkan. Spontan wajah Anita memerah karena
takut.
“Ma…maaf Can, a…a…”
“A i u a i u!” Gertaknya lagi sambil meninggalkan Anita
yang masih di depan pintu. Teman-teman sekelasnya yang menyaksikan kejadian
tersebut juga mulai takut saat Candra duduk di sekitar mereka, kecuali kedua
teman dekatnya,Rama dan Jek.
“Tumben lo enggak telat, bro?” Tanya Rama sembari menenggerkan tangannya di atas bahu
Candra.
“Iya, bro!
tumben banget lo! Biasanya pelajaran udah mau habis lo baru datang!” Jek menyambung kata-kata Rama.
“Tadi gua ada
urusan sedikit, jadi gua agak cepat
bangun!”
“Tapi muka lo
lusuh banget, bro! Ada masalah? Cerita dong,
bro, sama kita-kita! Siapa tahu kita
bisa bantu, iya enggak, Jek?”
“Iya nih, lo udah
jarang banget mau berbagi cerita sama
kita-kita! Enggak asik banget lo sekarang, bro!
“Ah, enggak juga, gua enggak ada masalah apa-apa, perasaan lo lo aja! Akhir-akhir ini badan gua lagi enggak fit aja.”
Candra mencoba menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Tak lama kemudian, Pak Joko, guru matematika yang sangat
kental dengan logat Jawanya, memasuki ruang kelas.
“Selamat pagi!” Sapanya kepada murid-muridnya.
“Pagi, Pak!” Sahut murid-muridnya dengan kompak.
“Kemarin saya sudah menjelaskan bagaimana cara menghitung
logaritma, sekarang saya akan memberi soal untuk pemanasan kalian belajar pagi
ini!” Ujar Pak Joko sembari menuliskan beberapa soal di papan tulis, sementara
murid-muridnya banyak yang menggerutu karena pagi-pagi sudah harus berhitung.
“Nah, siapa yang bisa mengerjakan soal nomor satu?
Silakan ke depan!” Pak Joko menawarkan murid-muridnya untuk mengerjakan soal yang
telah ditulisnya di papan tulis. Semuanya hanya ternganga melihat soal yang
begitu menyeratkan tenggorokan mereka. Tiba-tiba Candra dan Anita mengacungkan
tangan secara bersamaan. Candra memelototi Anita. Akhirnya Anita segera
menurunkan tangannya.
“Ya, kamu, Candra! Silakan dikerjakan!” Tunjuk Pak Joko
kepada Candra.
Candra segera mengerjakan soal yang diberikan dengan
lancar-lancar saja. Soal yang menurut mereka sedikit rumit, hanya sekejap saja
selesai dikerjakan oleh Candra. Siswa-siswi yang lain heran dengan Candra, karena
yang mereka tahu Candra sering membolos sekolah, namun ia selalu bisa jika
diminta mengerjakan di depan kelas. Sebenarnya Candra sejak dulu adalah anak
yang pintar, namun karena tingkah lakunya selama di SMA semakin lama semakin
kurang baik, baik dari absensinya, hingga sikapnya terhadap guru-guru maupun siswa-siswi
lain, membuat reputasinya di sekolah di pandang buruk. Namun, seburuk-buruknya
tingkah laku Candra, ia selalu ingat pesan ibunya agar tidak berhenti belajar
karena ilmu itu tidak ada habisnya, sehingga di setiap ia ada waktu santai
pasti ia gunakan untuk belajar.
“Bagus Candra! Silakan duduk!” Perintah Pak Joko saat
Candra selesai mengerjakan soal. “Kenapa yang lain jarang sekali aktif saat
saya beri soal seperti ini? Saya memang tidak suka dengan sikap Candra, tapi
saya bangga dengan Candra yang selalu bisa dan aktif, nilainya juga selalu
tinggi. Kalian yang selalu datang tepat waktu ini, apa yang kalian kerjakan
saat saya menjelaskan sehingga tidak bisa mengerjakan soal-soal yang saya
berikan?” Tambahnya dengan kesal.
Seisi kelas terdiam mendengarkan ceramah Pak Joko,
beberapa siswa menggerutu di belakang. Setelah diam sejenak, Pak Joko mulai
berbicara lagi. “Kalau bisa kalian belajar dengan Candra, belajar dari sisi
positifnya. Dan kamu, Candra! Saya harap kamu bisa lebih sering masuk dari pada
membolos, dan jangan pernah membuat onar lagi. Itu harapan saya!” Tegas Pak
Joko.
Candra hanya meresponnya dengan anggukan kepala dan raut
muka yang dingin.
“Selanjutnya, siapa yang bisa mengerjakan soal nomor du…”
Tiba-tiba kata-kata Pak Joko terhenti saat tampak tiga orang berseragam polisi
berdiri di depan pintu kelasnya.
“Selamat pagi, Pak! Maaf, mengganggu proses belajar
mengajarnya!” Ujar salah seorang dari ketiga polisi tersebut.
“Oh, iya, tidak apa-apa. Kalau boleh tau ada keperluan
apa ya, Pak?”
“Kami dari kepolisian, maksud dan tujuan kami kemari
yaitu sehubungan dengan beredarnya video porno yang sedang marak saat ini.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang telah banyak
terjadi pada kalangan pelajar yang bertindak asusila, kami ditugaskan untuk
merazia handphone maupun laptop para
pelajar di sekolah ini, Pak!”
“Oh, boleh-boleh saja, Pak!” Pak Joko mempersilakan para
polisi tersebut untuk mulai merazia di kelasnya. “Semua tas harus di atas
meja!” Perintah Pak Joko kepada murid-muridnya.
Deg… Spontan muka Candra berubah pucat pasi. Ia
kebingungan sendiri saat polisi langsung menggeledah tas dari meja barisan
paling depan sehingga tasnya digeledah lebih dulu. Ketika polisi mendapatkan handphonenya yang terdapat di saku
tasnya, polisi juga melihat bukusan kecil berwarna putih yang terselip di saku
tasnya. Setelah melihat isi handphone Candra yang tidak ditemukan satupun video
porno, polisi segera kembali meneliti bungkusan putih tersebut.
“Wah, ini sepertinya sabu-sabu!” Ujar polisi yang
menggeledah tas Candra.
Semua mata kini tertuju pada benda putih tersebut. Rama
dan Jek tercengang melihat kejadian itu. Candra hanya terdiam membisu tanpa
berkata sepatah katapun.
“Candra? Apa benar kamu melakukan ini?” Tanya Pak Joko
dengan raut muka yang sangat kecewa. Candra tetap saja diam bagai patung.
“Maaf, Pak, kami tidak menemukan video porno dari
anak-anak didik Bapak, tapi karena kami menemukan sabu-sabu ini, jadi kami terpaksa
membawa saudara Candra untuk diperiksa lebih lanjut di kantor polisi!” Ujar
polisi tersebut sembari memborgol kedua tangan Candra.
“Baiklah, Pak, saya serahkan Candra kepada pihak yang
berwajib!” Ujar Pak Joko dengan wajah yang penuh kecewa, dan tidak mampu
berkata apa-apa lagi.
“Kalau begitu, kami segera permisi dulu, terima kasih
atas kerja samanya!” Ketiga polisi tersebut berpamitan dengan Pak Joko dan
membawa Candra.
“Iya, Pak. Sama-sama…” Sahut Pak Joko.
“Bro!”
Panggilan Rama dan Jek menghentikan langkah Candra dalam tuntunan polisi.
“Jadi itu yang selama ini bikin lo jauh dari kita-kita?” Tanya Rama dengan penuh tatapan.
“Maafin gua,
sudah terlalu banyak masalah yang gua
hadapi, gua enggak mau bawa-bawa lo berdua ke dalam masalah gua!” Jawab Candra dengan penyesalannya.
“Tapi seenggaknya
lo bisa cerita sama kita-kita, bro! Kita selalu siap bantu setiap lo ada masalah. Bukan kaya gini caranya!” Ujar Jek sembari memegang
kedua pundak Candra.
“Sudahlah! Sekarang lupain
gua, lupain sahabat semacam gua! Sekarang lo tahu kan, gua seorang
pecandu! Hidup gua sudah hancur! Gua bukan sahabat yang baik buat lo berdua!” Candra tak kuasa menahan
haru dan segera pergi meninggalkan kedua sahabatnya.
“Bro!
bro!” Teriak Rama dan Jek memanggil
Candra yang sudah tertuntun oleh polisi.
Pak Brahma mendapat kabar dari pihak sekolah tentang tertangkapnya
Candra. Pak Brahma segera mendatangi kantor polisi di mana Candra diproses.
“Ada apa dengan anak saya pak?” Tanyanya tiba-tiba saat
sampai di kantor polisi, kemudian ia langsung tertuju kepada Candra, “apa yang
kamu lakukan, Candra! Kamu mau bikin malu Papa?!”
“Untuk apa Papa kemari? Papa masih peduli?” Sahut Candra
dengan ketus.
“Apa maksudmu berkata seperti itu?”
“Selama ini Papa kemana? Mengapa baru sekarang Papa mau
peduli?”
“Apa yang kamu bicarakan, Candra? Semua yang Papa lakukan
selama ini juga untuk kamu! Papa bekerja juga untuk kamu! Papa juga berikan
fasilitas yang lengkap! Apa itu masih kurang? Dan ini balasan kamu dengan
berurusan dengan polisi! Memalukan!”
“Oh… Begitu ya? Apa Papa tahu apa yang Candra lakukan di
rumah, di sekolah, dan di luar sana? Apa Papa pernah mau tahu apa yang Candra
lakukan hingga sekarang ini Candra berada di sini? Apa Papa tahu Candra tidak
pernah mendapat perhatian berupa kasih sayang tapi materi?!!!” Candra menatap
Papanya dengan tatapan tajam.
Pak Brahma terdiam. Polisi pun menghentikan percakapan
mereka.
“Maaf, Pak? Sebaiknya kasus anak Bapak segera diproses
agar cepat selesai”
“Oh, iya, Pak. Sebenarnya apa masalah anak saya, Pak?”
Tanya Pak Brahma pada polisi.
“Anak Bapak terbukti sebagai pemakai sabu-sabu. Kami akan
coba memproses terlebih dahulu apakah saudara Candra juga sebagai pengedarnya.”
“Baik, Pak. Kalau begitu sebaiknya segera diproses saja.”
Tiba-tiba
Mama tirinya datang membawa beberapa teman Candra yang dapat member kesaksian
atas kasus yang menimpa Candra. Dan akhirnya Candra hanya terbukti sebagai
pemakai dan bukan pengedar. Namun, Candra harus direhabilitasi. Pak Brahma pun
menyadari kesalahannya yang kurang perhatian terhadap anaknya.
“Maafkan
Papa, Candra. Mulai dari sekarang Papa akan meluangkan sedikit waktu untuk
kamu. Papa sangat menyesal, karena Papa terlalu egois, selalu sibuk dengan
urusan Papa sendiri.” Ujar Pak Brahma dengan penuh penyesalan
“Mama
juga ingin menjadi Ibu yang baik untuk kamu, Candra. Mama ingin kamu mau
menganggap Mama seperti Mama kamu sendiri. Maaf jika Mama berharap lebih, Mama
hanya ingin bisa menyayangi kamu sebagaimana seorang Ibu menyayangi anak
kandungnya…” Mama tirinya memohon penuh harap.
Candra
terdiam sejenak, kemudian ia memeluk Papa, dan Mama tirinya. Ia menangis dengan
penuh haru. Papa dan Mama tirinya juga membalas pelukan Candra.
Akhirnya,
Candra pun menerima Mama tirinya. Papa dan Mama tiri Candra juga sering
menjenguk Candra dimana ia direhabilitasi. Dan kini walaupun hanya di tempat
rehabilitasi, Candra dapat merasakan perhatian dan kasih sayang dari Papa dan
Mama tirinya. Ia juga mendapatkan pelajaran paling berharga.
KARYA : I’ANATUL INSIANAH
KELAS : C7 (Bahasa dan Sastra Indonesia)
A.
Unsur Intrinsik
a. Tema : Pendidikan.
b. Judul : Tertangkap Karena
Razia.
c. Sudut
pandang : Orang ketiga. Tidak
sebagai pelaku.
d. Latar/setting
1.Tempat :
Rumah, bukit, sekolah.
2.Waktu :
Pagi.
e. Alur/plot : Maju.
f. Penokohan
1.Candra :
Keras, tidak peduli, pintar.
2.Pak
Brahma/Papa Candra : Keras, egois.
3.Mama
tiri Candra : Baik,
sabar, penyayang.
4. Beno :
Santai.
5. Tora :
Santai.
6. Joni :
Baik, setia kawan.
7. Ray :
Santai.
8.Anita : Mudah
takut.
9.Rama : Santai,
baik, setia kawan.
10.
Jek :
Santai, baik, setia kawan.
11.
Pak Joko :
Tegas, bijaksana.
12.
Polisi :
Tegas.
g. Penyelesaian :
Bahagia (Happy Ending)
h. Amanat :
Jika diterpa masalah seberat apapun jangan
dilarikan kepada hal-hal yang negative, seperti memakai narkoba, minum minuman
keras, dan lain sebagainya, itu akan menghambat segalanya. Sekolah
terbengkalai, bahkan kita juga bisa dijauhi teman, ataupun keluarga. Jika ada
hal yang lebih positif untuk dapat dilakukan, itu akan menjadi permulaan yang
baik untuk memulai kehidupan ke arah yang lebih baik.